sunonthecheek

Abe cukup terkejut ketika mendapat telepon dari satpam yang memberi tahu ada sosok wanita mengaku tamu dari Dewa di lobby apartemen. Abe buru-buru menggunakan cardigannya, turun ke bawah, dan bertemu dengan tamu yang satpam maksud. Wanita cantik itu memperkenalkan diri sebagai Aurel, dia bilang temannya Dewa.

Aurel sempat ragu karena bukan Dewa yang menghampirinya di lobby, tapi karena laki-laki di hadapannya bilang kalau benar Dewa masih tinggal di sana, ia jadi lanjut memperkenalkan dirinya.

Abe mengajak Aurel untuk naik ke atas dan mempersilakannya masuk ke dalam. Abe sedikit tak tega, Aurel tampak pucat dan berantakan, membawa tas gemblong besar di tangan, ia tak mungkin mengusir Aurel pulang.

“Mau minum apa, Kak?”

“Air putih aja, Mas.”

“Mas Dewanya masih di kantor, mungkin bisa dateng lagi besok kalau mau ketemu Mas Dewa.” Ucap Abe sembari memberi segelas air putih.

Ketika Aurel mengambil gelas minumnya, Abe tidak sengaja melihat beberapa lebam yang sengaja ia tutupi dengan baju lengan panjangnya, lebam yang cukup jelas di kulitnya yang begitu putih. Wajah cantiknya juga terlihat pudar, dan Abe yakin wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja.

“Kakak kenal Mas Dewa dari mana?” Abe coba mengajak Aurel mengobrol.

“Aku? Hmmm dari kuliah. Kebetulan kita satu tempat kuliah terus aku sempet kerja di Modjo juga.”

“Oya?”

“Iya. Kalau kamu?”

“Kalau aku, kita dikenalin dulu. Terus baru kenal kurang lebih setahun, lah.”

“Kamu siapanya Dewa?”

Pertanyaan Aurel barusan sempat membuat Abe menahan napasnya. Abe memilih tak menjawab, ia hanya tersenyum lebar.

“Eh udah makan belum kak?”

Aurel menggeleng.

“Oh, makan ya kak!” Abe bangun dari duduknya, menghangatkan jatah makan malamnya untuk Aurel. Tidak peduli ia akan makan apa nanti, ia bisa minta makan berdua dengan Dewa atau minta dimasaki ketika Dewa pulang nanti.

Aurel makan cukup lahap, seperti orang yang belum makan untuk waktu yang lama. Melihat ini semua, membuat Abe berpikir kalau wanita yang sedang makan di hadapannya pasti sedang kabur dari suatu tempat. Tapi Abe tidak mau tanya tentang itu, takut dikira ia ikut campur dengan masalah orang.

Aurel akhirnya bercerita tentang apa yang terjadi pada dirinya setelah selesai makan malam. Ia habis kabur dari rumah kekasihnya karena dipukuli. Minggu depan ia mau pulang ke keluarganya di Amerika. Dan ia butuh waktu untuk menyembuhkan luka-lukanya sebelum kembali.

Aurel juga sedikit bercerita tentang masa lalunya dengan Dewa dan Modjo. Tentang ketika ia bekerja di sana, tentang teman-temannya di Modjo, dan tentang hubungannya dengan Dewa.

Tadinya Abe tidak mau memberi tahu Dewa tentang kehadiran Aurel. Abe pikir, Aurel hanya akan mampir sebentar lalu pergi. Tapi mendengar cerita Aurel, sepertinya Aurel butuh tempat tinggal untuk beberapa hari sebelum pulang ke Amerika, dan Dewa harus tau ini semua.

Dewa tiba dengan tergesa-gesa, mengagetkan Abe dan Aurel yang sedang mengobrol di meja makan.

“Keluar lo dari rumah gue!” Dewa menarik tangan Aurel, menariknya keluar dari rumah.

“Ah, Dewa. Sakit. Tangan gue sakit.”

“Mas!” Omel Abe melihat Dewa seperti orang kesetanan.

Abe tahan langkah Dewa, ia paksa Dewa untuk melepas genggaman tangannya pada Aurel. Abe berbalik menarik Dewa masuk ke dalam kamar, Dewa perlu ditenangkan.

“Lo kenapa sih?” Abe bertanya sembari bisik-bisik, takut Aurel mendengar.

“Dia bukan mantan pacar gue!”

“Iya yaudah. Dia temen kuliah kan?”

“Dia bilang ke lo kalau dia mantan pacar gue?” Dewa masih kesal.

Abe mengangguk.

“Bukan. Dia bukan mantan pacar gue!” Jawab Dewa ketus.

“Iya iya yaudah,” Abe mencoba menghadapi Dewa dengan tenang, “Kenapa harus marah sih?”

“Dia tuh, ah. Suruh dia pulang!”

“Dia ga punya rumah buat pulang.”

“Terus? Urusan kita?”

“Dia mau gue suruh nginep di sini.”

“Abe!”

“Cuma seminggu. minggu depan dia mau ke Amerika. Dia kena abuse dari pacarnya.” Abe makin bisik-bisik.

“Ga peduli.”

“Mas…”

Panggilan Mas barusan benar-benar terasa seperti siraman air dingin pada api yang membara di tubuh Dewa. Dewa menatap Abe kesal, tapi ia tidak bisa marah.

“Be, lo ga tau dia. Dia tuh orang jahat.”

“Tapi gue kasian sama dia. Badannya lebam biru-biru, Mas.”

“Gue ga peduli!”

“Mas…” Abe coba untuk memeluk Dewa yang masih emosi, membuat Dewa semakin tidak bisa membantah Abe.

Abe, berhasil menyerang titik terlemah Dewa.

Dewa diam cukup lama, mengatur napasnya yang terasa berat sejak ia menerima pesan dari Abe tadi. Rasa panas di kepala berubah jadi rasa pening, Dewa tak mau tapi kalau Abe sudah minta seperti ini, ia tak bisa berbuat apa-apa.

“Oke seminggu. Ga boleh lebih dari seminggu. Minggu depan kalau dia belum pergi juga gue seret keluar dari rumah.”

Abe hanya mengangguk.

Abe tak tahu apa yang membuat Dewa begitu membenci wanita itu. Abe juga sempat takut melihat Dewa yang marah barusan. Dewa yang biasanya terlihat tenang di mata Abe, tiba-tiba jadi seperti orang kesetanan. Tapi memikirkan bagaimana wanita itu akan luntang-lantung di jalan membuat Abe mau tak mau memberanikan diri melawan Dewa.

“Udah ah ga usah marah-marah gitu.” Ucap Abe sambil melepas pelukannya.

“Satu syarat,” Dewa berhasil menahan Abe yang mau melangkah keluar,

“Apa?”

“Percaya sama gue kalau dia bukan mantan pacar gue.”

Abe mengangguk, “Iya Dewa. Gue percaya sama lo.”

“Satu lagi.”

“Apa lagi?”

“Bilang ke dia kalau lo suami gue.”

Abe sedikit tertawa cengengesan mendengar ucapan Dewa barusan.

“Mandi gih. Bau ih dari luar seharian.”

Dewa panik langsung menciumi baju yang ia pakai, tidak ada bau keringat di bajunya dan tentu masih wangi perfume. Bagian mana yang bau?

Abe meminta Aurel untuk mandi dan istirahat di kamar. Terima kasih untuk Aurel karena Abe akan tidur di kamar Dewa selama satu minggu kedepan dan berpura-pura jadi suami yang baik bahkan di rumah juga.

Edith menggulung lengannya sembari berjalan menuju tempat di mana ia akan menunggu Sydney selesai prosesi wisuda, di sana teman temannya juga sudah berkumpul, sedikit melepas rindu karena sudah cukup lama tidak berjumpa.

“Do, Sat, Nan, Yan.” Sapa Edith menyalami satu per satu keempat temannya.

“Siap kan?” Tanya Keenan sembari merangkul Edith. Edith hanya mengangguk.

“Kok lo ga pake jas sih?” Kini giliran Satria yang bicara.

“Eh, aku harus pake jas?” Jawab Edith panik.

Di belakang, Tian dan Orlando menertawai Edith yang memasang muka panik. Edith sedikit kebingungan.

“Yailah Dith, Satria didengerin.” Jawab Keenan yang masih merangkul Edith.

Prosesi wisuda berjalan cukup lama. Sydney sudah mengomel mengantuk dan lapar di dalam sana, dan Edith terus menemani Sydney dari balik ponselnya.

“Ade gue udah selesai.” Ucap Orlando. Dan seperti sebuah perintah, semua mulai bergerak sesuai dengan tugasnya.

Orlando adalah orang pertama yang menjalani tugasnya. Ia di tugaskan untuk menjemput Sydney bersama mama dan papanya di depan pintu keluar dan membawa Sydney ke arah Edith. Orlando sudah pergi menjalankan tugasnya.

“Lo pasti bisa.” Ucap Keenan sekali lagi, sembari menepuk pundak Edith yang kaku.

Dari kejauhan sudah nampak wajah cantik Sydney dan Orlando yang berjalan menghampiri Edith. Edith seperti ditarik ke kejadian dua tahun yang lalu, di mana ia berdiri dengan posisi yang sama, menatap Sydney yang sedang bercanda gurau dengan Orlando dari kejauhan. Jantungnya mulai berdetak berantakan, percis seperti yang ia rasakan dua tahun lalu. Ia tarik napas dalam untuk menenangkannya.

Beda dari dua tahun lalu, kala itu Sydney langsung menampilkan wajah masamnya kala bertemu dengan Edith. Namun kali ini ia tersenyum, berjalan sedikit melompat kegirangan sembari melambaikan tangannya.

Edith melangkah maju, merebut pelukan pertama dari Sydney.

“Selamat ya, sayang.” Ucap Edith setelah berhasil memeluk Sydney,

“Aaaaa aku lulus mas.” Jawab Sydney kegirangan.

Edith mengambil tangan Sydney untuk ia genggam, kemudian melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.

“Irene sama Gia mana sih? Dihubungin susah banget. Kita kan mau foto-foto dulu,” Ucap Sydney sembari bermain dengan ponselnya.

“Susah sinyal kayaknya, yang.”

Sydney yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya tidak sadar kalau ia sudah diajak Edith ke suatu tempat yang sudah Edith rencanakan.

“Ga bisa dihubungin mas,” Sudney kesal sendiri pada teman-temannya yang sulit dihubungi.

“Coba pake handphone mas nelponnya,”

“Jangan cemberut ih, nanti cantiknya ilang.” Edith menarik pipi Sydney agar membentuk senyuman. Bukannya mendapatkan senyuman, Edith malah kena pukul di tangannya,

“Mas, nanti make up aku rusak kamu pegang-pegang.” Ucap Sudney melotot.

“Eh—oh— sayang. Maaf.” Edith panik, mencoba merapihkan make up di pipi Sydney.

“Iseng.” Balas Sydney sembari mencubit pipi Edith.

Di sisi lain, Keenan Tian dan Satria sedang bersembunyi menunggu aba-aba dari Edith dan Orlando. Berusaha semuanya berjalan sesuai rencana.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Irene dan Gia. Irene bilang Gia sempat ke kamar mandi sehingga mereka terlambat.

“Sini mas fotoin,” Edith berjalan mundur, mencari posisi yang tepat untuk mengambil gambar.

“1… 2… 3…”

“Yang banyak mas” teriak Gia

“1… 2… 3…”

“1… 2… 3…”

“1… 2… 3…”

“1… 2… 3…”

Selesai mengambil gambar, Sydney menghampiri Edith untuk melihat hasil jepretan Edith kemudian menunjukan pada teman-temannya. Dan mereka bertiga hanya tertawa karena ada beberapa pose yang lucu.

Hari sudah mulai sore kala Sydney selesai berfoto dengan teman-teman, keluarga dan tentunya Edith. Sydney yang asik melihat hasil jepretannya hari ini, tidak fokus dengan apa yang Edith persiapkan di hadapannya.

“Sydney,”

“Hm?”

Edith merendahkan tubuhnya, melipat satu kakinya untuk diletakan ke tanah. Ia juga mengeluarkan kotak beludru yang sedari tadi terhimpit di kantung celananya.

“Mau nikah sama mas?” Ucap Edith sembari membuka kotak beludru berisikan cincin cantik di hadapan Sydney.

Sydney yang terkejut hanya menutup mulutnya dengan telapak tangannya, kemudian mulai menggigit bibirnya yang kelu.

Air matnya mulai berlinang, entah ini tangis bahagia atau tangis karena ia terkejut. Ia benar-benar tidak menyangka akan dilamar oleh kekasihnya di hari wisudanya.

Sydney kemudian menarik Edith untuk bangun dan memeluknya. Air matanya jatuh semakin deras. Persetan dengan make up yang rusak, Sydney tidak peduli.

“Kok nangis?” Tanya Edith sembari memeluk Sydney,

“Mas maaah huhuhu.” Jawab Sydney dalam tangisnya.

Edith melepas pelukannya untuk bertanya sekali lagi. Cincin yang ia siapkan belum bertengger di jari manis Sydney.

“Mau?”

Sydney mengangguk.

Anggukan Sydney membuat Tian, Satria dan Keenan keluar dari persembunyiannya untuk memecahkan confetti dari party pooper yang disiapkan. Tidak lupa Keenan menyerahkan bunga ke Edith untuk diberikan ke Sydney.

“Kok? Kok ada mas Satria, mas Keenan sama mas Tian?” Tanya Sydney yang sedikit terkejut.

“Hahaha iya. Mereka yang rencanain semua, sayang.”

Cincin sudah terpasang cantik di jari manis Sydney, dan Edith mendapat tepukan tangan dari orang-orang yang sedari tadi menyaksikan di sekeliling mereka.

“Makasih ya, Sayang.”

“Mas emang udah dapet izin dari Papa sama Mama mau nikahin aku?” Ledek Sydney mencoba menggoda.

“Udah dong. Sebelum aku ngelamar kamu, aku izin dulu sama Mama Papa kamu. Aku juga kasih tau rencana hari ini.”

“Aih pantesan ga banyak protes mereka nungguin aku foto sana foto sini. Kerjaannya mas ternyata.”

“Hehe iya. Emang rencananya bikin kamu ngira ya kaya wisuda biasa aja. Eh ternyata aku lamar ya?”

Kemudian Sydney kembali memeluk Edith. Ia begitu bahagia hari ini. Entah mengapa baru membayangkan hidup bersama Edith saja rasanya sudah sangat bahagia, apalagi kalau sudah benar terjadi nantinya.

Sydney tahu ia mungkin masih terlalu muda untuk mengambil keputusan berumah tangga dengan Edith, tapi ia yakin Edith pasti bisa menjadi kepala keluarga yang baik untuk keluarga kecilnya nanti.

Begitupun dengan Edith, sejak pertemuan pertamanya, Edith sudah yakin kalau Sydney akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Sydney yang mungkin terlihat seperti anak-anak sebenarnya memiliki sisi dewasa yang membuat Edith begitu yakin dengan keputusannya. Lagi pula, apa yang Edith tunggu untuk menunda menikahi Sydney jika bisa secepatnya?

“Nanti wa ibu ya. Kasih tau jawaban kamu. Aku dari tadi di spam chat sama ibu nanya jawabannya apa.”

Sydney hanya mengangguk sembari tersenyum. Kemudian memeluk lengan Edith untuk bersandar.

Gesha—atau yang akrab dipanggil Caca turun dari motor yang ditumpanginya ketika berhenti di sebuah pekarangan rumah. Rumahnya cukup besar, berada di dalam cluster sehingga rumahnya tidak memiliki pagar. Caca menyerahkan helm yang ia pakai pada sang supir motor—Janu.

“Ayo.” Janu mengajak Caca untuk masuk, berjalan di depan agar Caca bisa mengikutinya dari belakang.

Entah ide gila dari mana sehingga Caca bisa berdiri di depan pintu rumah laki-laki teman sekelasnya. Bahkan kalau di kelas, Caca dan Janu bukan teman akrab. Sesekali hanya teman satu kelompok, atau Caca menebeng Janu pulang ketika ditawari. Sebatas itu saja.

Dan entah keberanian dari mana Janu bisa membawa Caca untuk main ke rumahnya. Sudah pasti ia habis diledeki Papa dan Kakaknya nanti ketika Caca sudah pulang.

“Maaa…” Suara berat Janu memecah keheningan, memanggil Mamanya yang tidak terlihat keberadaannya.

Dari balik tembok, terpampang wanita paruh baya yang masih cantik dan segar. Mamanya terlihat sangat muda meskipun kakak Janu sudah berumur dua puluh lima.

“Hallo… siapa ini siapa?”

“Hallo, tante.” Caca mengambil tangan mamanya Janu untuk salim. Selesai salim, Mama memeluk Caca.

“Caca namamu?”

“Gesha tante. Tapi dipanggil Caca.”

“Aduh cantiknya nama kamu, seperti orangnya.” Puji Mama, yang membuat Caca tersipu.

Mama mengajak Caca untuk duduk, masih terus menggenggam tangan Caca, tidak mau lepas

“Tante seneng banget Ca, akhirnya Janu bawa pacarnya ke rumah. Tante udah paksa Janu terus kapan bawa pacarnya ke rumah, Janu selalu bilang ‘ga punya Mama’ tapi tante ga percaya. Eh ternyata pacar Janu cantik sekali.” Caca hanya tersenyum, kemudian melirik Janu yang terduduk di ujung sana. Janu hanya menggeleng, mengisyaratkan dia tidak tau apa-apa tentang apa yang mamanya bicarakan.

“Hehe iya tante. Maaf ya Caca baru main. Baru sempet, tante.” Ucap Caca bersandiwara, berharap bisa menyenangkan hati Mama.

“Iya gapapa. Tapi habis ini sering-sering ya main. Tante punya banyak cerita tentang Janu.”

Caca hanya mengangguk dan tersenyum, membuat Janu yang duduk di ujung sana salah tingkah sendiri. Senyumnya manis, dan tidak ada kepura-puraan dalam senyumnya Caca, begitu tulus saat ia meladeni mamanya yang tidak henti bicara itu. Lagi-lagi, Janu punya alasan untuk jatuh cinta pada Caca.

Mama mengambil album foto yang berisikan foto kecil Janu, menceritakan semua cerita konyol Janu waktu kecil yang membuat Caca tertawa tak henti. Janu yang masih duduk di sana hanya memandang dengan heran, mereka baru bertemu kurang dari satu jam tapi sepertinya semua cerita masa kecil Janu sudah Caca ketahui.

“Ma, kasian itu diajak ngobrol belum disuruh minum.” Kali ini Papa yang keluar dari dalam, perawakannya tampan dan tegas. Caca jadi tahu dari mana Janu bisa memiliki wajah setampan ini, Papa dan Mama Janu sangat tampan dan cantik.

“Hallo, om. Caca.” Caca berdiri, menghampiri Papa dan salim.

“Udah minum kok. Tuh liat tuh udah diminum airnya.” Protes Mama.

“Ya kamu kalau di sini mulu kapan Janu pacarannya, Ma.”

“Oh iya. Duh Mama lupa Ca. Maaf ya Ca.” Mama buru-buru bangun, kemudian menarik Papa untuk pergi dari ruang tamu, bahkan sebelum Caca menjawab ucapan mereka.

Kini tinggal Caca dengan buku album foto yang masih terbuka di pahanya, dan Janu yang memutuskan untuk pindah duduk ke dekat Caca.

Caca melanjutkan kegiatan membuka album foto kecil Janu, kemudian tertawa ketika ada foto yang dirasa lucu.

“Ini kapan Nu?” Tanya Caca sambil menunjukan foto Janu kecil memegang seekor Sapi.

“Tk kayaknya. Lupa juga gue, Ca.”

Suasana hening, Caca lebih asik melihat foto-foto dan Janu asik dengan ponselnya. Sampai diujung halaman dan Caca harus menutup album foto yang terbuka, karena sudah selesai.

“Ini, rapihin lagi.” Ucap caca pada Janu, sembari menyerahkan album foto yang cukup berat itu.

“Ca, tadi yang diomongin nyokap ga usah didengerin ya.”

“Yang mana?”

“Yang pacar.”

Caca hanya mengangguk. Ada sedikit rasa kecewa dari anggukan tersebut. Caca sudah berharap sedikit, tapi malah diminta untuk tidak berharap apa-apa.

Sejak ucapan Caca tempo hari tentang isi hatinya, Caca merasa ada jarak yang Janu bangun di antara mereka. Mereka tidak banyak bertegur sapa di kampus, bahkan tidak pernah berkirim pesan sebelumnya sampai tadi malam Janu mengomentari status whatsappnya.

“Mau liat kamar gue?” Tanya Janu memecah keheningan. Caca menengok kala mendengar pertanyaan itu, ia takut salah dengar.

“Kamar gue bersih kok. Biasanya anak-anak kalau main kesini ya di kamar.”

“Boleh.” Jangan tanya Caca kenapa ia menjawab pertanyaan Janu dengan jawaban boleh. Ia benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia mau diajak ke kamar laki-laki dan nanti hanya berduaan di dalam.

Janu memimpin, dan Caca mengikuti di belakang. Caca cukup terkejut karena kamar Janu sangatlah rapih. Ada dua buah sepeda yang digantung di tembok, kemudian meja komputer dengan layar yang cukup banyak, gitar di sudut kamar dan balkon kecil dengan dua buah bangku dan meja di tengah.

“Lo suka sepedaan?”

“Iya. Eh duduk ca. Duduk di mana aja.”

Caca mengangguk, kemudian mengambil duduk di kursi gaming yang berada di depan meja komputernya, dan Janu duduk di atas kasur.

“Sepedanya kok di taro di kamar?”

“Hahaha. Iya. Gue jadiin pajangan juga. Kalau ga dipake ya dipajang. Gitu.”

“Lo bisa naik sepeda?” Tanya Janu lagi. Caca geleng.

“Sumpah?”

“Iya. Hahaha. Gue ga bisa.” Jawab Caca sambil tertawa garing.

“Hahaha yaudah kapan kapan gue ajarin naik sepeda.”

“Sepeda ini?” Tanya Caca bingung sambil menunjuk pada sepeda yang terpajang di kamar Janu. Sepeda yang terpajang terlihat sepeda profesional dan mahal, tidak mungkin Caca belajar dengan sepeda seperti ini.

“Ya ngga. Banyak sepeda di rumah gue. Sepeda bibi aja nanti.”

Sudah masuk jam makan siang dan Caca diajak untuk makan siang dengan keluarga Janu. Dan saat itu lah Caca bertemu dengan kakak perempun Janu yang tidak kalah cantik dengan Mamanya.

Di atas meja makan, Caca lebih banyak bercerita tentang keluarganya. Bagaimana ia hidup di Jakarta tanpa Bunda dan Ayahnya, bagaimana sifat kakak dan abangnya, kelucuan mba di rumah, dan lain sebagainya. Caca terlihat lebih santai, dan Janu menikmati setiap tawa dari Caca. Lagi-lagi, Janu semakin jatub hati.

Selesai makan siang Caca membantu Mama cuci piring di dapur. Mama sudah menolak keras namun Caca kekeuh mau bantu. Akhirnya diperbolehkan Mama dengan syarat mencuci berdua dengan Mama. Kakak yang awalnya tidak tertarik dengan tamu Janu, malah jadi sirik sendiri karena Mama dan Caca terlihat begitu akrab berdua.

Caca pamit pulang setelah selesai makan siang bersama, karena memang rencana awalnya hanya makan siang bareng. Ada raut wajah sedih dari Mama, yang membuat Caca harus membuat janji akan mengunjungi Mama lagi.

“Makasih ya Ca.” Ucap Janu sesampainya mereka di rumah Caca.

“Ih gue yang makasih, Janu.” Jawab Caca sambil menyerahkan helm milik Janu.

“Yaudah, gue cabut ya.”

Caca mengangguk, dan Janu pergi meninggalkan Caca.

Langit menarik kerah baju laki-laki bernama Trian yang sedang tertawa di warung samping sekolah—Amang. Dalam satu tarikan, Trian berhasil diseret keluar oleh Langit yang amarahnya sudah dalam puncaknya.

“Pengecut, najis.” Ucap langit sembari mendorong keras laki-laki bernama Trian itu, yang didorong ditangkap oleh teman yang lainnya.

Kalau saja Jerrico dan Nadeo terlambat sepuluh detik sampai di sana, mungkin Langit sudah kehilangan akalnya untuk menghabisi Trian.

“Ngit… ngit… tahan,” Tahan Jerrico sembari memeluk tabuh langit yang mencoba memberontak.

“Masalah lo apaan, anjing?”

“Ga usah pura-pura bego deh lo, bangsat.”

“Belain cewe lo?”

Mendengar ucapan Trian barusan malah membuat Langit semakin tidak bisa dikontrol. Langit benar-benar ingin mendaratkan bogemnya pada wajah tengil Trian.

“Ya emang cewe murahan, anjing.”

“Bangsat—”

brug satu pukulan berhasil melayang, Langit terlepas dari pelukan Jerrico.

Jerrico menarik Langit kembali, menahannya untuk tidak melanjutkannya. Yang dipukul jatuh, bahkan tidak ada yang berani menolong karena Langit lah lawannya.

Trian bukanlah siapa-siapa di sekolah, hanya lelaki julid yang terkadang berbicara sembarangan di base twitter sekolah. Kali ini ia dengan berani menyenggol Denallie, kekasih Langit.

“Lo anjing tau ga? Lo kalau ditolak cewe jangan kaya banci dong. Mana mau Dena sama banci kaya lo.” Teriak Langit yang masih berusaha Jerrico tahan. Langit benar-benar sudah tidak bisa dikontrol.


Denallie mengambil minum setelah latihan dengan salah satu juniornya, yang memang butuh latihan lebih. Hari ini tidak ada jadwal latihan, tapi Dena memilih untuk membantu juniornya latihan, agar terhindar dari Langit.

Dena mengecek handphonenya, betapa terkejut ia melihat notifikasi chat di ponselnya dari teman sekelasnya sekaligus teman dekat Langit, Nadeo.

Dena bahkan menjatuhkan air minum yang sudah terbuka, membiarkan airnya tumpah berserakan ke lantai. Tanpa pamit, ia lari keluar meninggalkan lapangan bulutangkis.

Sesampainya di Amang, Dena berhenti tepat di belakang Langit, merukuk mengatur napasnya setelah latihan dan berlari barusan. Ia sedikit lega karena tidak ada acara tonjok-tonjokan seperti yang ia khawatirkan sepanjang larinya.

“Langit…” Ucap Dena dalam tarikan napasnya, ia masih ngos-ngosan.

Panggilan tersebut berhasil mengalihkan konsentrasi semua orang, termasuk Langit.

Langit memaksa melepaskan pelukan Jerrico, menghampiri Dena yang masih bersiri merukuk itu.

“Kamuh… ngapainh… berantemh… hahhh…” ucap Dena setelah berhasil berdiri, menyilangkan tangannya dan menatap Langit tajam.

“Dia yang kirim tweet tentang kamu di base,”

“Kata kamu ga penting?”

“Mulai sekarang penting. Semua tentang kamu penting buat aku.”

Dena menarik Langit menjauh dari Amang, tangan mereka bertaut sampai ke dalam Gymnasium.

“Maaf ya,” Langit mengelap peluh dari dari Dena dengan handuk Dena yang berada di kursi istirahat. Dena hanya mengangguk.

“Aku yang minta maaf. Udah kaya anak-anak ngambek sama kamu,”

Langit menggeleng cepat.

“Kamu wajar marah. Aku yang salah malah cari-cari kesalahan Trian. Harusnya aku ga kaya gitu,”

Dena hanya mengangguk, kemudian tersenyum.

“Ayo pulang,” ucap Langit sembari memasukan barang-barang Dena ke dalam tas raketnya.

“Tapi yang…”

“Hm?”

“Ini aku ngepel dulu. Airnya aku tumpah gara-gara baca chat dari Nadeo kamu berantem.”

Kemudian mereka tertawa berdua, menertawai bagaimana cinta bisa selucu ini.

Ada suara berisik dari dalam dada dua insan yang sedang dimabuk cinta, suranya berisik dan cukup mengganggu. Dua insan yang beberapa hari terakhir menjadi dekat ini, sedang berada di dalam dilemanya masing-masing. Dilema bagaimana harus bersikap dalam tiga jam kedepan.

Mereka berdiri berdampingan, saling menatap kala berbincang. Dengan jarak sedekat ini, mereka sama-sama khawatir kalau suara degup jantung yang berantakan akan terdengar keluar. Terima kasih untuk musik yang tidak berhenti bergema sejak tadi, setidaknya bisa meredam suara berisik dari dada mereka.

“Lo suka LANY?” Tanya Mario,

Their music nice, but i’m not their big fan. Cuma suka denger lagunya aja.”

“Sama kok,”

Kiara menatap bingung Mario. Bagaimana bisa ia mengajaknya menonton konser penyanyi padahal ia bukan fans beratnya.

“Abis bingung mau kemana. Ada konser LANY yaudah kesini aja,” katanya, seakan bisa membaca pikiran Kiara barusan.

Jantung Kiara dibuat porak poranda sejak dua jam yang lalu, kala sedan hitam terparkir rapih di depan pagar rumahnya. Bukan, bukan karena Kiara terlalu senang diajak keluar hari ini, tapi karena si pengajak dengan gagahnya masuk ke dalam rumah, berkenalan dengan papanya dan pamit meminjam Kiara.

Mario hanyalah teman saat itu, kenapa sampai repot-repot berpamitan dengan papanya?

Dalam benak Kiara, entah cara apa yang Mario tempuh untuk bisa mendapatkan dua tiket konser hari ini. Karena setelah mereka berdua duduk di dalam mobil, Mario langsung memamerkan dua gelang bertuliskan LANY dan bertanya apakah Kiara bersedia untuk jadi teman konsernya hari ini.

Terima kasih untuk LANY malam ini, karenanya Mario bisa mencuri-curi pandang wanita cantik di sampingnya. Wanita yang tingginya hanya sebahu Mario, yang rasanya mau Mario lipat dan simpan di dalam kantungnya.

Berjalan beberapa lagu, suasana semakin seru. Banyak lagu yang ternyata Kiara tahu, dan ia terlihat sangat bahagia malam ini. Kiara loncat kegirangan ketika lagu up beat dimainkan, dan mendadak sendu ketika lagu balad yang diputar.

“Lo lucu,”

“Hah?” Kiara bersumpah ia tidak sedang mengalami gangguan pendengaran, hanya saja suara Mario kalah dengan musik yang di putar.

Mario mendekatkan bibirnya ke sekitaran telinga Kiara, “Lo lucu,” katanya sambil berbisik.

“Gue bukan badut!” Jawab Kiara sambil memukul lengan Mario dengan gemas.

Lagu berlanjut ke ILYSB, lagu sejuta umat kata Mario. Paul Klein berbincang sedikit, bercerita tentang lagu yang akan dimainkan setelah ini.

Suara drum membuka lagu, berhasil menyihir penonton untuk menikmati pertunjukan.

Ain't never felt this way Can't get enough so stay with me

Dan kemudian teriakan demi teriakan disuarakan, berakhir menjadi ajang karaoke bersama di dalam konser.

Ada yang menghangat di ujung tangan Kiara, buru-buru ia tengok ke bawah karena cukup terkejut dengan perubahan suhu di ujung tangannya. Kemudian kepalanya kembali ditegakkan, mengangkat kedua alisnya kebingungan.

Oh, my heart hurts so good I love you, babe So bad So bad

Mario membisikan kata-kata itu, tepat di telinga Kiara, diiringi suara Paul Klein dari atas panggung.

“Hm?”

Mario hanya membalas dengan gesture di mulutnya, tanpa bersuara. ‘I love you’ katanya.

Tentu Kiara tahu, tentu Kiara bisa membaca jelas ucapan tanpa suara barusan. Yang tidak bisa Kiara lakukan saat ini adalah mengontrol dirinya. Ia salah tingkah, rasanya mau melebur jadi satu dengan lantai venue.

Konser masih berlanjut, begitupun agenda flirting Mario dan Kiara. Kali ini tangan Mario sudah pindah melingkar di bahu Kiara, dan tangan Kiara sudah bertengger di pinggang Mario. Entah sejak lagu yang mana posisi mereka berdua sudah berubah. Yang mereka tahu, mereka sedang mabuk akan perasaan masing-masing.

Ada perasaan tidak nyaman yang menghantui Mario beberapa hari terakhir sejak tuduhan pertamanya pada sosok yang bahkan tidak ia kenal dekat, Kiara. Kalau saja ia diberi kesempatan untuk memutar waktu, ia akan memilih mundur ke tiga hari yang lalu untuk tidak menuduh, atau bahkan empat hari yang lalu untuk menolak mentah-mentah ajakan Harsa, atau bahkan enam bulan yang lalu untuk tidak mangajak Bianca berkencan.

Mungkin terdengar menyedihkan, namun begitulah suasana hati Mario beberapa hari terakhir. Mario lebih banyak merenung di ruang sekre BEM Universitasnya, merebahkan tubuhnya pada karpet tipis berwarna abu sambil menatap kosong ke atap. Meratapi kejadian-kejadian yang sudah berakhir menjadi penyesalan untuk Mario.

Mario menancap gas mobil sedan hitamnya, sudah duduk di samping kirinya Jeremi yang sedang sibuk dengan ponselnya, membelah jalanan kampus di siang hari yang terik ini. Jarak sekre BEM Universitas dengan fakultasnya cukup jauh, tapi Mario suka menempuh jarak jauh itu hanya untuk sekedar melamun. Untungnya ada Jeremi yang punya keperluan di sekre siang ini, membuat Mario setidaknya punya alasan lain.

“Kira-kira gue ngomong apa ya nanti?”

Jeremi mengunci ponselnya waktu Mario mulai buka suara, “Kenalan dulu ga sih? Kayaknya lo belum proper kenalan sama dia?”

Jeremi benar, rasanya perkenalan diri kemarin di direct message belum benar. Apalagi Mario memilih tanpa basa basi menuduh Kiara, pasti sudah tidak ada kesan baik yang Mario tinggalkan.

Butuh waktu sepuluh menit perjalanan untuk sampai di fakultasnya, untungnya parkiran sedikit kosong sehingga Mario tidak perlu susah payah untuk memarkirkan mobilnya.

Mario saat ini sudah berdiri mantap di pintu masuk kantin, mengedarkan pandangannya untuk mencari teman-temannya yang sudah sampai terlebih dahulu.

“Mar,” teriak Harsa dari meja belakang. Mario mengangkat tangannya kemudian berjalan mendekat.

Di meja lain, Claudya, Tania dan Kiara sedang menikmati santap siangnya.

“Itu Mario,” bisik Tania yang membuat Claudya dan Kiara reflek menengok bersamaan ke arah yang Tania maksud.

“Ganteng anjir,” kini giliran Claudya memuja.

“Biasa aja.” Jawaban dari Kiara barusan benar-benar menghancurkan fantasi Tania dan Claudya. Bagaimana sosok tampan dengan senyum ramah itu bisa dianggap biasa saja oleh Kiara?

“Gue doain naksir lo, Ra.”

“Tolong jangan ngedoain yang nggak-nggak ya ibu Tania,” jawab Kiara ketus.

Bohong kalau Mario ‘biasa saja’ di mata Kiara. Mario dengan cuma-cuma mendapat gelar Presiden Mahasiswa tertampan dalam sepuluh tahun terakhir di kampusnya, dan tidak mungkin untuk Kiara berpendapat lain. Kalau iya, mungkin Kiara harus mendapatkan perawatan pada matanya.

“Mau kemana abis ini? Kelas masih jam tigaaa… hoaaa—” kegiatan menguap Tania terputus karena laki-laki yang jadi perbincangan panas mereka sudah berdiri tepat di samping meja mereka.

“Hai, sorry ganggu.” Katanya canggung.

“Oh, gue Mario,” Si laki-laki langsung mengulurkan tangannya, menggantung tepat di hadapan Kiara.

“Kiara,” jawab Kiara sambil menyalami.

Perkenalan berlanjut ke Tania dan Claudya.

“Eh, duduk aja.” Claudya mempersilakan si laki-laki untuk duduk. Ada sisi kosong di depan Kiara, di samping Claudya.

Mario yang merasa canggung terus mengelus tengkuk belakangnya, kemudian menurut untuk duduk di samping Claudya.

“Kita ganggu?” Tanya Tania menggoda, “Gue sama Claudya cabut ga sih?”

Tangan Kiara dengan secepat kilat menahan tubuh Tania dari bawah meja, meremas paha Tania sebagai hukuman atas ucapannya barusan.

“Eh ga usah, bentar doang kok gue.” Jawab Mario.

“Oke Kiara. Gue mau minta maaf secara langsung buat kejadian kemarin. Gue ngerasa ga enak banget.”

“Perasaan gue udah maafin deh?”

“Iya, tapi kayaknya belum selesai kalau gue belum minta maaf langsung.”

Kiara mengangguk paham.

“Gimana deh ceritanya foto lo bisa masuk base?” Kini giliran Tania yang bicara.

“Gue sama temen-temen gue lumayan sering ke todays sebenernya. Terus Harsa, temen gue ngeliat katanya gue diem-diem difoto anak Neo waktu gue lagi jalan keluar. Terus gue ketemu Kiara di luar, mangkanya gue nuduh Kiara. Gue gak ketemu anak Neo lain selain Kiara soalnya. Udah dicari akun yang ngirim, langsung deactive saat itu juga katanya.”

Ada pesona sendiri yang bikin Kiara panas dingin waktu ngeliat cara Mario ngejelasin keadaannya. Kiara hanya menatap lurus Mario, tanpa memberi satupun sanggahan.

Yang ditatap ikut salah tingkah, kemudian balas dengan senyuman canggung karena merasa dirinya ditatap dalam.

“Ih jahat banget deh orang,” kini giliran Claudya yang menjawab.

“Ara,” senggolan bahu dari Tania membuyarkan lamunan Kiara pada sosok yang duduk di hadapannya. Dunianya kembali, kemudian bergantian ia tatap Tania.

“Apa?”

“Itu,” kata Tania sambil menunjuk Mario dengan dagunya.

“Oh, iya. Gue udah maafin kok.” Jawab Kiara mencoba seramah mungkin.

“Thanks God. Kalau gitu gu—,” Pamitan Mario terputus karena suara getaran dari ponsel Kiara yang berada di atas meja.

drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt…

Wait,” Kiara bangun, menjauh dan meninggalkan ketiga temannya.

Kiara kembali ke meja dengan keadaan setengah berlari. Mukanya panik dan matanya merah.

“Ra, kenapa?” Tanya Tania yang ikut panik.

“Bokap kecelakaan.” Jawab Kiara singkat sambil menarik paksa tasnya, lari pergi tanpa pamit ke teman-temannya yang kebingungan.

Entah tuntutan dari mana, Mario yang menyaksikan kejadian barusan ikut lari menyusul, mengikuti Kiara yang berlari panik tanpa arah.

“Kiara,” Mario menahan laju Kiara dengan menarik salah satu tangannya.

“Gue harus apa? Pesen gojek? Ah iya,” katanya bicara asal. Bibir bawahnya digigit dan tangannya bergetar hebat, menandakan kalau ia benar-benar panik.

“Gue anter,” Mario menggandeng satu tangan Kiara, menariknya ke arah parkiran mobil. Membuka pintu penumpang dan mempersilakan Kiara masuk. Kemudian berlari ke pintu lainnya untuk mengemudikan mobil.

“Rumah sakit mana?” Mario langsung melajukan mobilnya, tanpa menunggu aba-aba.

“Kiara?” Panggilan barusan dibuat Mario karena tidak ada jawaban dari pertanyaan pertamanya. Mario mendapati Kiara sudah menunduk dengan wajah ditutup oleh telapak tangannya.

“Kiara?” Panggilnya lagi, ia jadi ikut panik karena tidak tahu harus bawa Kiara kemana,

Huaaaaaaaaaaaaaaa,” Tangisnya pecah, “Papaaaaaaaa.

“Iya oke. Papa. Papa lo di mana? Ayo kita susulin papa lo,”

Papaaaaaaaa,”

“Kiara? Iya ini kita nyusulin papa lo. Beliau dibawa ke rumah sakit mana?”

Di Mount Sinai, Torontoooo,

srrrt. Suara gesekan ban yang dipaksa berhenti cukup nyaring, meninggalkan Mario yang masih mencerna ucapan Kiara barusan, kemudian sedikit tertawa di kursinya sambil memijat kecil kening.

Bodoh sekali Mario, sudah menarik paksa Kiara tanpa bertanya, dan langsung menancap gas tanpa tahu tujuannya.

Mario membawa Kiara ke sebuah parkiran salah satu fakultas, membiarkan Kiara menangis di dalam mobil. Barusan Kiara sudah mendapat kabar terbaru melalui telepon, katanya papanya tidak dalam kondisi menghawatirkan. Kejadian kali ini benar-benar tidak terbayangkan Mario sama sekali. Mario tidak bisa berhenti tersenyum, sambil terus menatap Kiara yang belum mau berhenti menangis.

Sydney

Hari udah cukup gelap waktu gue sama mas Edith sampe di apartemen. Gue cek jam yang meingkar ditangan gue, dan keliatan udah jam 22:18.

Perjalanan Bandung – Jakarta jadi lebih lama karena mas Edith ngajak gue berhenti di beberapa tempat. Makan malam, ngemil ice cream, sampe beli kopi di rest area.

“Sydney,” suara mas Edith manggil waktu selesai markirin mobil.

Gue cuma nengok, terus keiatan muka mas Edith berubah jadi sendu banget.

“Sydney, jangan kayak tadi lagi ya…” katanya sambil narik tangan gue, terus dia genggam.

“Iya. Maaf ya mas,”

“Saya marah sekali sebenernya, tapi saya tahan. Saya bisa aja cari Julian itu karena bawa pergi kamu. Tapi syukurnya kamu pulang baik-baik aja, dan itu cukup bikin marah saya hilang. Ini pertama dan terakhir ya Sydney. Kamu boleh pergi, tapi jangan menghilang. Kabari saya. Kasih tau saya kamu di mana.”

Ucapan dan tatapan mas Edith barusan bikin bulu kuduk gue berdiri. Gue langsung inget kata-kata Julian gimana mas Edith bisa mengintimidasi dia cuma lewat sambungan telepon. Mungkin ini yang Julian maksud. Padahal suaranya mas Edih pelan, ga ngebentak.

“Iya mas, janji.”

“Sama satu lagi, saya ada di dekat kamu. Jangan pernah ngerasa sendiri ya. Saya selalu ada di dekat kamu.”

Kata-kata kedua mas Edith bikin gue sedikit bingung. Ya emang selama ini dia selalu di samping gue. Kenapa harus dipertegas lagi?

Akhirnya gue cuma senyum dan ngangguk, terus dia kecup kening gue cukup lama. Bikin jantung gue deg-degan ga karuan. Mungkin kalau ngaca, muka gue udah semerah kepiting rebus.

Mas Edith nunggu gue sampe masuk ke dalam, terus kita berdua dadah dadahan kaya film India sampe pintu bener-bener ketutup.

Waktu gue masuk, mas Orlando udah duduk di meja bar deket dapur, lagi minum sendiri.

“Mas, kok minum sih?” Tanya gue sambil marah.

Gue menarik botol minuman keras mas Orlando, terus gue tutup lagi dan gue balikin ke dalam kulkas. Belum berkurang terlalu banyak artinya mas baru minum dikit. Mas Orlando cuma jawab senyum, sambil terus megangin gelas yang kayaknya takut gue rampas juga.

Welcome home, bayi.” Katanya sambil nyengir.

Gue berlanjut ngeberesin barang-barang bawaan gue dari Bandung ke kamar, sekalian ganti baju.

Waktu gue keluar, mas Orlando udah pindah ke sofa. Menepuk-nepuk sofa bagian kosong buat gue duduki. Terus gue nurut, duduk sila dan mengambil alih remot.

“De…”

“Apa?” Jawab gue ketus. Kita lagi perang dingin hari ini. Dan gara-gara mas Orlando hari gue berantakan.

“Mas ga dikasih peluk?”

“Nggak.”

Mas Orlandi ketawa garing, terus gue cuma ngelirik dia aneh.

“De…”

“Apasih mas? De da de mulu,”

“Ih galak banget,”

Hhhhh, iya apa masku?”

“Sini peluk mas dulu,”

Gue akhirnya ngalah buat nyender dipelukan mas Orlando. Kedengeran dari suara detak jantungnya, mas Orlando lagi ga baik-baik aja. Gue jadi ngerasa bersalah karena udah galakin dia hari ini.

“De, maafin mas ya,” Suara mas Orlando bergetar. Gue nahan buat ga bangun dari posisi sekarang, takut kalau gue natap mas dan mas nangis, gue ikut nangis.

Gue cuma diam. Tangan mas Orlando sambil ngelus rambut gue.

“Maafin mas ga bisa mempertahankan keluarga kita. Mas gagal jadi anak pertama,”

Bentar. Gue yang berusaha buat negakin badan malah dipaksa mas Orlando buat tetap di posisi yang sama.

“Mas? Maksudnya?”

“Papa sama mama, ke Indonesia bukan cuma mau rapat. Tapi sekalian mau urus perceraian.”

Jleb. Rasanya kayak ada pedang yang nancep di dada gue, perih. Air mata gue runtuh gitu aja, gue meganging dada gue karena rasanya seperih itu. Gue ngedorong paksa buat lepas dari pelukan mas Orlando terus lari masuk ke dalam kamar dan ngunci pintu.

Untuk keseribu kalinya, gue dikecewakan oleh orang tua gue sendiri. Dan gue gak bisa berbuat apa-apa.

Kalau air mata yang tumpah sejak setengah jam yang lalu ditampung, mungkin sudah bisa memenuhi satu botol air mineral ukuran 600 ml. Tangisan Sydney di dalam pelukan ibu yang baru ia kenal dua hari yang lalu belum mau berhenti. Padahal dia tidak merasa sakit, dia bahagia.

Sydney tidak pernah tau kalau ternyata pelukan seorang ibu senyaman ini. Yang Sydney tau hanya pelukan dingin dari sang mama yang ia dapati satu tahun sekali, atau bahkan dua tahun.

“Main ya ke Jogja. Ajak mama papa Sydney. Nanti tinggal di rumah Edith ya.” Kata ibu sambil menghapus air mata yang belum mau berhenti.

Kalau Sydney ikut lomba bercerita tentang orang tua, sudah pasti Sydney kalah. Sydney begitu jauh dengan orang tuanya, hidup berkecukupan tidak menjamin Sydney dapat kasih sayang yang layak dari orang tua, terlebih lagi mereka sudah resmi bercerai.

“Salam ya ke mama papanya Sydney,” kata ibu lagi. Sydney hanya mengangguk.

Gantian sekarang Edith yang minta jatah pelukan ibu. Edith pamit untuk pulang ke perantauan, menunaikan kewajiban lainnya sebagai seorang pegawai.

“Sydney, sering-sering wa ibu ya. Biar ibu punya temen ngobrol gitu loh,” kata ibu di pelukan terakhirnya. Sydney mengangguk.

Karena waktu penerbangan sudah dekat, Sydney dan Edith izin untuk check in dan masuk ke ruang tunggu. Meninggalkan ibu yang hanya melambaikan tangan di belakang.

Edith mencoba menghapus sisa air mata Sydney yang mulai mengering itu dengan tisu yang diambil dari tas Sydney. Sambil menertawai Sydney yang mukanya lebam khas orang habis menangis.

“Kenapa coba sayang kamu nangis nangis gitu?”

“Aku ga pernah dipeluk kaya gitu sama mama. Terus rasa pelukan ibu guh kayak anget, tenang, damai terus aku kebawa suasana deh,”

“Aku anaknya ibu, berarti pelukan aku rasanya sama kan?” Tanya Edith dengan muka menggoda, yang kemudian dihadiahi pukulan ringan di lengannya oleh Sydney.

“Aku tau banget kamu bakal disayang sama ibu. Mangkanya aku pede banget mau bawa kamu ke Jogja buat ketemu ibu.”

“Tapi udah ya mas jangan ajak aku main lagi abis ini. Aku bulan depan harus daftar sidang biar aku bisa wisuda semester ini.”

“Iyaaa,” Edith mencubit hidung Sydney gemas.

Sepanjang perjalanan Edith terus menggenggam tangan Sydney, seakan ia akan kehilangan Sydney beberapa menit kedepan. Tidak lupa ia kecup sesekali punggung tangan Sydney, atau mengelus lembut selama Sydney tertidur di bahunya. Dan kemudian ia ikut tertidur, mengistirahatkan kepalanya di atas kepala Sydney.

You are not just the center of my life, but my entire life.

Ada harap harap cemas dari perasaan Edith hari ini kala berhasil memarkirkan si ‘Gajah Mada’ di parkiran terminal 3 bandara, mengecek jam yang melingkar di tangan kirinya beberapa kali, memastikan bahwa ia belum terlambat untuk tiba di sini.

Edith memilih untuk menunggu di mobil, waktu masih menunjukan pukul enam sore, masih ada satu sampai satu setengah jam lagi untuk Sydney sampai di Jakarta.

Di sela waktu menunggunya, Edith mengerjakan beberapa pekerjaan ringan. Meskipun ia sedang dalam masa cuti, Edith tetap menunaikan kewajiban pekerjaannya. Lagi pula, ini bukan cuti liburan, ini cuti mendadak sehingga mau tidak mau Edith harus membawa ikut serta pekerjaannya.

Rasa lelah setelah menyetir dua belas jam mulai menghantui Edith. Ia baru sampai siang tadi, kemudian istirahat sebentar dan melanjutkan perjalanannya untuk menemui pujaan hatinya yang sudah beberapa hari terakhir tidak ia ketahui kabarnya.

Edith memutuskan keluar dari mobil, sudah pukul enam lebih tiga puluh, yang artinya ia sudah harus masuk ke dalam area bandara. Ia menghentikan langkahnya di salah satu gerai kopi, memesan segelas americano dingin untuk mengusir kantuknya. Duduk di salah satu meja sebelum nanti ia melanjutkan langkahnya menunggu di pintu kedatangan.

Selain Edith, laki-laki dengan pakaian dinas pilot salah satu maskapai juga sudah duduk di salah satu meja, berjarak tiga sampai empat meja dari meja Edith. Terpampang jelas name tag bertuliskan Arleo Kunanda, fokus bermain dengan ponselnya.

Arleo—atau akrab dipanggil Leo sedang menunggu ‘teman’ yang tiba dari Singapura. Menunggu dengan perasaan gembira karena begitu berkesannya pertemuan pertama dan tidak sengaja mereka di Singapura.

Dalam sela-sela menikmati kopi dingin di tangannya, Edith menerima telepon dari pegawainya dan mengharuskan ia membuka laptop, Edith perlu mengerjakan sesuatu karena urusannya cukup mendesak. Edith terlalu fokus hingga lupa tujuannya kesini.

Tak lama berselang, suara ponsel berdering dari meja Leo, menampilkan nama Sydney dalam layar ponselnya. Buru-buru ia geser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya,

Hallo Syd,”

Iya gue udah di sini,

Sip. Gue tunggu ya.

Senyum Leo tidak luntur selama perbincangan singkat barusan. Kemudian tertawa sedikit karena merasakan sensasi geli di perutnya.

Brak.

Suara bising barusan berhasil membuat semua orang yang berada di dalam gerai menengok, termasuk Edith yang sedari tadi sibuk berkutik dengan laptopnya.

Edith berdiri dengan kasar, dengkulnya menabrak meja, tapi bukan itu masalahnya. Sudah berdiri dengan muka terkejut sang pujaan hati di hadapannya. Menatap Edith tajam, Edith kemudian membalas tatapan tersebut dengan tatapan cemas.

Tidak hanya Edith, Leo juga berdiri terkejut setelah mendengar suara barusan. Suara yang berasal dari pintu masuk gerai kopi yang sedang dijadikan tempatnya menunggu.

Suara barusan berasal dari Sydney yang tidak sengaja membanting kopernya ke lantai. Saking terkejutnya karena laki-laki yang beberapa hari terakhir ia hindari sudah berdiri di hadapannya.

“Sydney…” Edith beranjak lari, karena Sydney malah balik badan dan pergi menjauh, lari entah kemana tanpa arah.

“Syd…” Edith berhasil menggapai tangan Sydney, menggenggamnya erat agar tidak lepas lagi.

“Sydney…”

Tangis Sydney pecah. Ia tutup mukanya dengan tangannya yang bebas.

“Maafin saya…”

Ada sentuhan hangat yang Sydney rasa di punggungnya, kemudian sentuhan berlanjut ke tubuh bagian depannya. Edith berhasil memeluknya dari belakang, membiarkan Sydney menangis di dalam pelukannya.

Edith tidak peduli lirikan tajam orang sekitar, toh ini bandara, tempat orang bertukar air mata karena perpisahan atau pertemuan. Jadi ia biarkan tangis Sydney pecah.

“Sydney, maafin saya. Saya cinta sama kamu”

Sydney masih menangis, Edith terus merengkuh tubuh mungil di hadapannya. Ia tidak mau melepaskannya lagi untuk kedua kalinya. Ia hampir kehilangan sebelumnya dan rasanya sangat menyesakkan.

Tubuh Sydney Edith putar perlahan, kemudian ia ubah posisinya menjadi pelukan dari depan. Sydney masih menangis, dan Edith masih membiarkan Sydney menangis.

“Nanti saya ceritain semuanya ya sama kamu. Tapi biarin saya peluk kamu yang lama dulu, saya kangen sekali sama kamu.”

Bukannya berhenti, ucapan Edith barusan berhasil membuat Sydney menangis lebih kencang lagi. Sama seperti Edith, Sydney juga rindu.

Di dalam gerai sudah duduk Irene dan Gia, di meja yang Leo tempati sejak satu jam yang lalu.

“Itu yang kemarin bikin Sydney patah hati?” Tanya Leo dengan wajah kebingungan, Gia dan Irene hanya mengangguk.

“Lo naksir sama Sydney, Le?” Tanya Irene setelah selesai menyeruput kopinya.

“Haha, iya. Tapi kayaknya ga ada kesempatan buat gue?”

“Ga ada, Le. They are madly in love with each other. Emang ada masalah yang bikin Sydney keliatan patah hati. Tapi kayaknya mereka udah ga bisa dipisahin deh,” lanjut Irene.

“Eh ini gimana? Kita interupsi mereka gitu terus nganter koper?” Tanya Gia khawatir sambil terus menengok ke luar gerai,

“Tungguin aja. Lagian barang-barang masnya masih di situ.” Jawab Irene sambil menunjuk ke meja yang mas Edith tempati.

Leo hanya memerhatikan kedua perempuan di hadapannya berbincang, sambil sesekali mencoba melirik keluar, berharap Sydney kembali ke gerai. Ia mau bertemu Sydney, setidaknya untuk terakhir kalinya.

“Sydney…” Edith menatap wajah Sydney yang sudah semerah tomat, mengelap air matanya yang banjir dengan ujung lengan kemeja panjangnya.

“Mas pergi aja. Aku… pulang sama… Irene… sama Gia…” Ucap Sydney terbata-bata. Ia sudah selesai menangis.

“Ngga. Kamu pulang sama saya ya. Please saya mohon, kamu dengerin penjelasan saya dulu. Saya janji setelah ini, kalau kamu mau pergi dari saya, saya ga akan halangin kamu. Tapi tolong, saya mohon, untuk terakhir kalinya saya mau kamu denger penjelasan saya dulu. Saya ga mau nyesel Sydney. Saya sayang sama kamu.”

Mendengar permohonan dari Edith, membuat Sydney luluh dan menurut untuk ikut pulang bersamanya. Toh, Sydney juga butuh jawaban dari rasa penasarannya pada sosok Bella.

Sydney kembali ke teman-temannya, masih dengan muka merah khas orang baru selesai menangis. Mas Edith kembali ke mejanya, merapihkan beberapa barang yang ia tinggalkan tadi untuk dimasukan ke tasnya.

Selesai merapihkan, Edith menghampiri Sydney yang berdiri di dekat teman-temannya,

“Guys, ini mas Edith,” suara Sydney bindeng, mungkin hidungnya mampet.

“Edith,”

“Gia,”

“Edith,”

“Irene,”

“Edith,”

“Leo.”

“Ayo pulang, semua bareng kan?” Tanya Edith dengan santainnya.

“Eh ngga usah mas. Aku sama Irene naik taksi aja nanti,”

“Gapapa, saya anter ayo.”

Irene dan Gia menolak kembali.

Selesai berpamitan, Edith dan Sydney kembali ke mobil. Ada hening beberapa saat karena Edith menunggu Sydney untuk menyelesaikan tangisnya.

Tangan kanan Sydney berada di genggaman Edith, dan tangan kirinya fokus mengelap air mata yang tidak mau berhenti dengan tisu.

“Syd, udah dulu dong nangisnya.”

Hiks… aku sebel sama mas Orlando sama mas Edith. Dua duanya bohongin aku, hiks.”

“Kalau saya bilang saya yang jemput, emang kamu mau?”

Sydney geleng.

“Saya kangen banget sama kamu, Syd. Saya hampir gila karena saya ga bisa ngehubungin kamu,” Tangan Sydney masih terus Edith elus pelan,

Mendengar pernyataan barusan malah membuat Sydney menangis lagi dan lebih kencang. Karena bukan hanya Edith yang merasakan rindu, Sydney juga.

Kepala yang menunduk Edith tarik untuk di dekatkan ke dadanya. Ia biarkan Sydney untuk menangis kembali di pelukannya. Edith lanjut mengecup pucuk kepala Sydney dengan sayang, menyalurkan rindu yang sudah mencekiknya beberapa hari terakhir. Ia rindu senyum Sydney, ia rindu tawa Sydney, dan ia rindu setiap yang ada di dalam diri Sydney.

“Mas…” Sydney bangun dan duduk lebih tegak untuk menatap Edith,

“Hm?”

“Jangan tinggalin aku,”

Edith mengangguk, “Saya ga mungkin ninggalin kamu, Syd. Saya cinta mati sama kamu.”

“Jangan tinggalin aku terus nikah sama Bella hiks.”

“Besok ikut saya ke Jogja ya?”

“Hah ngapain?”

“Ketemu Ibu,”

“Serius?”

“Iyaaa. Mau ya ketemu Ibu?”

“Berapa lama?”

“Minggu pulang. Senin saya harus kerja lagi. Naik pesawat aja biar cepat,”

“Nanti aku tanya mas Orlando dulu,”

Edith mengangguk.

“Saya mau kenalin pacar saya yang bener ke ibu. Saya mau tunjukin ke ibu kalah pacar saya baik, cantik, penyayang, dan satu-satunya yang saya sayang.”

“Ih, emang kapan kita pacaran?”

cup kecupan kecil mendarat di bibir Sydney yang bengkak, “Sekarang,”

“Ish. Aku masih marah sama mas jangan cium cium.” Sydney balas dengan memukul dada Edith.

Edith hanya tertawa geli.

“Terus mba Bella itu siapa? Beneran calon istri mas Edith?”

“Bukan. Dia bukan calon istri saya. Saya tau ternyata Bella yang ngehasut ibu selama ini, yang bikin ibu ga tenang selama saya di Jakarta. Saya juga ga ngerti kenapa dia bisa sejahat itu.”

“Dia terobsesi sama mas kali? Dia kan katanya mau dijodohin sama mas mangkanya dia hasut ibu biar ibu minta mas pulang ke Jogja terus nikah sama dia,”

“Cinta saya di sini, cinta saya kamu. Jadi besok mau ya temenin saya ketemu ibu? Ngobrol sama ibu, kita selesaiin bertiga sama ibu. Saya mau apapun yang saya bicarain ke ibu kamu denger. Saya mau kamu tau, biar ga ada salah paham lagi.”

“Iya. Aku izin sama mas Orlando dulu nanti.”

Kecupan kedua mendarat cukup lama di dahi Sydney, membuat air mata Sydney turun lagi.

“Kalau kamu ga berhenti nangis kita ga pulang-pulang Sydney. Apa ga usah pulang ya? Besok kan kita ke sini lagi,”

“Ish pulaaaaang,”

“Hahaha, iya.”

Dena berdiri tepat di sebelah kanan pintu masuk utama hall gymnasium yang jadi tempatnya bertanding pagi tadi, menendang-nendang lantai untuk mengusir rasa bosannya. Dena lanjut membuka beberapa aplikasi di ponselnya, setidaknya dia ingin terlihat sedikit sibuk dan tidak seperti orang yang sedang menunggu. Dari kejauhan, sudah terpampang senyum manis dari laki-laki yang beberapa hari terakhir sudah berhasil memporak porandakan pikirannya, yang tanpa permisi sudah jadi alasan perut Dena terasa menggelitik karena tingkahnya.

“Lama ya?” Kata si laki-laki waktu berdiri tepat di hadapan Dena, Dena menggeleng karena memang belum lama ia menunggu.

Langit—si laki-laki pemilik senyum manis langsung merebut tas berisi raket dari bahu Dena, dan memindahkan ke bahunya. Sudah jadi kebiasaan baru Langit untuk membantu membawakan tas raket Dena, selain untuk menunjukan kejantanan Langit, ternyata tas berisi raket-raket itu cukup berat. Kalau Dena sih dengan senang hati kalau Langit berinisiatif membawakan tasnya.

“Ayo,” ajak Langit setelah selesai menyelempangkan tas Dena dengan nyaman di bahunya. Dena mengangguk girang.

“Besok tanding lagi berarti?” Tanya Langit di tengah perjalanan mereka.

“Iyaaa. Finalnya besok. Doain ya,”

“Pasti lah,” Langit menatap Dena, “Gue perlu dateng?”

“Ngga usah. Do’ain aja. Besok senin Langit. Mau bolos?”

“Iya. Kalau gue nonton kan gue jadi punya alasan buat bolos.” Jawab Langit sambil tertawa iseng.

Dena merasa Langit terlihat jauh lebih tampan jika menggunakan baju santai seperti ini. Hati mana yang tidak berdegup kencang kalau lelaki setampan ini berjalan di sampingnya, menertawai setiap lelucon yang bahkan sebenarnya tidak lucu.

“Denallie anjay, selamat ya.” Sapa Nadeo yang sudah menunggunya dengan seorang laki-laki di bawah sebuah pohon, mememberikan tangannya untuk Dena ambil.

“Hahaha, thanks Nadeo.” Tawa Dena garing, tidak lupa mengambil tangan Nadeo untuk dibalas salamnya.

“Jerrico,” Ada tangan lain yang menggantung di hadapan Dena, padahal belum selesai urusan salamannya dengan Nadeo.

“Eh,” Buru-buru Dena memutus salamannya dengan Nadeo untuk mengambil tangan selanjutnya, “Denallie,” jawab Dena.

Jerrico tersenyum setelah salaman mereka terputus, “Oh ya Denallie, gue follow lo di Instagram. Accept ya!”

“Eh panggil Dena aja. Denallie kepanjangan,”

“Oke, Dena.” Jawab Jerrico sambil senyum, yang dibalas senyum juga oleh Dena.

Obrolan berlanjut dengan pembahasan basa-basi khas orang yang baru berkenalan. Rumah di mana, wali kelas siapa, eskul apa dan masih banyak lainnya.

Senyum Jerrico belum mau luntur juga sejak tiga puluh menit yang lalu, padahal matahari sedang terik-teriknya.

Tapi tidak dengan laki-laki berkaus hitam yang berdiri di samping Dena. Senyumnya sudah luntur dari tiga puluh menit yang lalu, mungkin karena terik matahari, atau karena panasnya api cemburu yang membakar egonya?

“Ayo pulang,” ajak Langit, yang akhirnya buka suara.

“Eh pulang? Cepet banget?” Jerrico mencoba menahan, karena ia baru saja berkenalan dengan Dena.

“Besok dia tanding lagi, harus istirahat.” Jawab Langit ketus.

“Eh iya. Sorry ya ga bisa lama-lama. Besok gue mau tanding lagi jadi gue harus istirahat.” Dena memelas, ia masih mau berlama-lama berbincang dengan teman barunya. Tapi sepertinya tidak untuk hari ini. “Makasih ya kalian udah nonton.” Lanjut Dena.

Jerrico dan Nadeo mengangguk paham, merelakan Dena dan Langit yang terlebih dahulu meninggalkan mereka berdua.

Hari ini matahari sedang terik-teriknya, dan Langit menjadikan matahari sebagai alasan pada rasa panas yang menerpanya saat ini.