310

You are not just the center of my life, but my entire life.

Ada harap harap cemas dari perasaan Edith hari ini kala berhasil memarkirkan si ‘Gajah Mada’ di parkiran terminal 3 bandara, mengecek jam yang melingkar di tangan kirinya beberapa kali, memastikan bahwa ia belum terlambat untuk tiba di sini.

Edith memilih untuk menunggu di mobil, waktu masih menunjukan pukul enam sore, masih ada satu sampai satu setengah jam lagi untuk Sydney sampai di Jakarta.

Di sela waktu menunggunya, Edith mengerjakan beberapa pekerjaan ringan. Meskipun ia sedang dalam masa cuti, Edith tetap menunaikan kewajiban pekerjaannya. Lagi pula, ini bukan cuti liburan, ini cuti mendadak sehingga mau tidak mau Edith harus membawa ikut serta pekerjaannya.

Rasa lelah setelah menyetir dua belas jam mulai menghantui Edith. Ia baru sampai siang tadi, kemudian istirahat sebentar dan melanjutkan perjalanannya untuk menemui pujaan hatinya yang sudah beberapa hari terakhir tidak ia ketahui kabarnya.

Edith memutuskan keluar dari mobil, sudah pukul enam lebih tiga puluh, yang artinya ia sudah harus masuk ke dalam area bandara. Ia menghentikan langkahnya di salah satu gerai kopi, memesan segelas americano dingin untuk mengusir kantuknya. Duduk di salah satu meja sebelum nanti ia melanjutkan langkahnya menunggu di pintu kedatangan.

Selain Edith, laki-laki dengan pakaian dinas pilot salah satu maskapai juga sudah duduk di salah satu meja, berjarak tiga sampai empat meja dari meja Edith. Terpampang jelas name tag bertuliskan Arleo Kunanda, fokus bermain dengan ponselnya.

Arleo—atau akrab dipanggil Leo sedang menunggu ‘teman’ yang tiba dari Singapura. Menunggu dengan perasaan gembira karena begitu berkesannya pertemuan pertama dan tidak sengaja mereka di Singapura.

Dalam sela-sela menikmati kopi dingin di tangannya, Edith menerima telepon dari pegawainya dan mengharuskan ia membuka laptop, Edith perlu mengerjakan sesuatu karena urusannya cukup mendesak. Edith terlalu fokus hingga lupa tujuannya kesini.

Tak lama berselang, suara ponsel berdering dari meja Leo, menampilkan nama Sydney dalam layar ponselnya. Buru-buru ia geser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya,

Hallo Syd,”

Iya gue udah di sini,

Sip. Gue tunggu ya.

Senyum Leo tidak luntur selama perbincangan singkat barusan. Kemudian tertawa sedikit karena merasakan sensasi geli di perutnya.

Brak.

Suara bising barusan berhasil membuat semua orang yang berada di dalam gerai menengok, termasuk Edith yang sedari tadi sibuk berkutik dengan laptopnya.

Edith berdiri dengan kasar, dengkulnya menabrak meja, tapi bukan itu masalahnya. Sudah berdiri dengan muka terkejut sang pujaan hati di hadapannya. Menatap Edith tajam, Edith kemudian membalas tatapan tersebut dengan tatapan cemas.

Tidak hanya Edith, Leo juga berdiri terkejut setelah mendengar suara barusan. Suara yang berasal dari pintu masuk gerai kopi yang sedang dijadikan tempatnya menunggu.

Suara barusan berasal dari Sydney yang tidak sengaja membanting kopernya ke lantai. Saking terkejutnya karena laki-laki yang beberapa hari terakhir ia hindari sudah berdiri di hadapannya.

“Sydney…” Edith beranjak lari, karena Sydney malah balik badan dan pergi menjauh, lari entah kemana tanpa arah.

“Syd…” Edith berhasil menggapai tangan Sydney, menggenggamnya erat agar tidak lepas lagi.

“Sydney…”

Tangis Sydney pecah. Ia tutup mukanya dengan tangannya yang bebas.

“Maafin saya…”

Ada sentuhan hangat yang Sydney rasa di punggungnya, kemudian sentuhan berlanjut ke tubuh bagian depannya. Edith berhasil memeluknya dari belakang, membiarkan Sydney menangis di dalam pelukannya.

Edith tidak peduli lirikan tajam orang sekitar, toh ini bandara, tempat orang bertukar air mata karena perpisahan atau pertemuan. Jadi ia biarkan tangis Sydney pecah.

“Sydney, maafin saya. Saya cinta sama kamu”

Sydney masih menangis, Edith terus merengkuh tubuh mungil di hadapannya. Ia tidak mau melepaskannya lagi untuk kedua kalinya. Ia hampir kehilangan sebelumnya dan rasanya sangat menyesakkan.

Tubuh Sydney Edith putar perlahan, kemudian ia ubah posisinya menjadi pelukan dari depan. Sydney masih menangis, dan Edith masih membiarkan Sydney menangis.

“Nanti saya ceritain semuanya ya sama kamu. Tapi biarin saya peluk kamu yang lama dulu, saya kangen sekali sama kamu.”

Bukannya berhenti, ucapan Edith barusan berhasil membuat Sydney menangis lebih kencang lagi. Sama seperti Edith, Sydney juga rindu.

Di dalam gerai sudah duduk Irene dan Gia, di meja yang Leo tempati sejak satu jam yang lalu.

“Itu yang kemarin bikin Sydney patah hati?” Tanya Leo dengan wajah kebingungan, Gia dan Irene hanya mengangguk.

“Lo naksir sama Sydney, Le?” Tanya Irene setelah selesai menyeruput kopinya.

“Haha, iya. Tapi kayaknya ga ada kesempatan buat gue?”

“Ga ada, Le. They are madly in love with each other. Emang ada masalah yang bikin Sydney keliatan patah hati. Tapi kayaknya mereka udah ga bisa dipisahin deh,” lanjut Irene.

“Eh ini gimana? Kita interupsi mereka gitu terus nganter koper?” Tanya Gia khawatir sambil terus menengok ke luar gerai,

“Tungguin aja. Lagian barang-barang masnya masih di situ.” Jawab Irene sambil menunjuk ke meja yang mas Edith tempati.

Leo hanya memerhatikan kedua perempuan di hadapannya berbincang, sambil sesekali mencoba melirik keluar, berharap Sydney kembali ke gerai. Ia mau bertemu Sydney, setidaknya untuk terakhir kalinya.

“Sydney…” Edith menatap wajah Sydney yang sudah semerah tomat, mengelap air matanya yang banjir dengan ujung lengan kemeja panjangnya.

“Mas pergi aja. Aku… pulang sama… Irene… sama Gia…” Ucap Sydney terbata-bata. Ia sudah selesai menangis.

“Ngga. Kamu pulang sama saya ya. Please saya mohon, kamu dengerin penjelasan saya dulu. Saya janji setelah ini, kalau kamu mau pergi dari saya, saya ga akan halangin kamu. Tapi tolong, saya mohon, untuk terakhir kalinya saya mau kamu denger penjelasan saya dulu. Saya ga mau nyesel Sydney. Saya sayang sama kamu.”

Mendengar permohonan dari Edith, membuat Sydney luluh dan menurut untuk ikut pulang bersamanya. Toh, Sydney juga butuh jawaban dari rasa penasarannya pada sosok Bella.

Sydney kembali ke teman-temannya, masih dengan muka merah khas orang baru selesai menangis. Mas Edith kembali ke mejanya, merapihkan beberapa barang yang ia tinggalkan tadi untuk dimasukan ke tasnya.

Selesai merapihkan, Edith menghampiri Sydney yang berdiri di dekat teman-temannya,

“Guys, ini mas Edith,” suara Sydney bindeng, mungkin hidungnya mampet.

“Edith,”

“Gia,”

“Edith,”

“Irene,”

“Edith,”

“Leo.”

“Ayo pulang, semua bareng kan?” Tanya Edith dengan santainnya.

“Eh ngga usah mas. Aku sama Irene naik taksi aja nanti,”

“Gapapa, saya anter ayo.”

Irene dan Gia menolak kembali.

Selesai berpamitan, Edith dan Sydney kembali ke mobil. Ada hening beberapa saat karena Edith menunggu Sydney untuk menyelesaikan tangisnya.

Tangan kanan Sydney berada di genggaman Edith, dan tangan kirinya fokus mengelap air mata yang tidak mau berhenti dengan tisu.

“Syd, udah dulu dong nangisnya.”

Hiks… aku sebel sama mas Orlando sama mas Edith. Dua duanya bohongin aku, hiks.”

“Kalau saya bilang saya yang jemput, emang kamu mau?”

Sydney geleng.

“Saya kangen banget sama kamu, Syd. Saya hampir gila karena saya ga bisa ngehubungin kamu,” Tangan Sydney masih terus Edith elus pelan,

Mendengar pernyataan barusan malah membuat Sydney menangis lagi dan lebih kencang. Karena bukan hanya Edith yang merasakan rindu, Sydney juga.

Kepala yang menunduk Edith tarik untuk di dekatkan ke dadanya. Ia biarkan Sydney untuk menangis kembali di pelukannya. Edith lanjut mengecup pucuk kepala Sydney dengan sayang, menyalurkan rindu yang sudah mencekiknya beberapa hari terakhir. Ia rindu senyum Sydney, ia rindu tawa Sydney, dan ia rindu setiap yang ada di dalam diri Sydney.

“Mas…” Sydney bangun dan duduk lebih tegak untuk menatap Edith,

“Hm?”

“Jangan tinggalin aku,”

Edith mengangguk, “Saya ga mungkin ninggalin kamu, Syd. Saya cinta mati sama kamu.”

“Jangan tinggalin aku terus nikah sama Bella hiks.”

“Besok ikut saya ke Jogja ya?”

“Hah ngapain?”

“Ketemu Ibu,”

“Serius?”

“Iyaaa. Mau ya ketemu Ibu?”

“Berapa lama?”

“Minggu pulang. Senin saya harus kerja lagi. Naik pesawat aja biar cepat,”

“Nanti aku tanya mas Orlando dulu,”

Edith mengangguk.

“Saya mau kenalin pacar saya yang bener ke ibu. Saya mau tunjukin ke ibu kalah pacar saya baik, cantik, penyayang, dan satu-satunya yang saya sayang.”

“Ih, emang kapan kita pacaran?”

cup kecupan kecil mendarat di bibir Sydney yang bengkak, “Sekarang,”

“Ish. Aku masih marah sama mas jangan cium cium.” Sydney balas dengan memukul dada Edith.

Edith hanya tertawa geli.

“Terus mba Bella itu siapa? Beneran calon istri mas Edith?”

“Bukan. Dia bukan calon istri saya. Saya tau ternyata Bella yang ngehasut ibu selama ini, yang bikin ibu ga tenang selama saya di Jakarta. Saya juga ga ngerti kenapa dia bisa sejahat itu.”

“Dia terobsesi sama mas kali? Dia kan katanya mau dijodohin sama mas mangkanya dia hasut ibu biar ibu minta mas pulang ke Jogja terus nikah sama dia,”

“Cinta saya di sini, cinta saya kamu. Jadi besok mau ya temenin saya ketemu ibu? Ngobrol sama ibu, kita selesaiin bertiga sama ibu. Saya mau apapun yang saya bicarain ke ibu kamu denger. Saya mau kamu tau, biar ga ada salah paham lagi.”

“Iya. Aku izin sama mas Orlando dulu nanti.”

Kecupan kedua mendarat cukup lama di dahi Sydney, membuat air mata Sydney turun lagi.

“Kalau kamu ga berhenti nangis kita ga pulang-pulang Sydney. Apa ga usah pulang ya? Besok kan kita ke sini lagi,”

“Ish pulaaaaang,”

“Hahaha, iya.”