13.
Gesha—atau yang akrab dipanggil Caca turun dari motor yang ditumpanginya ketika berhenti di sebuah pekarangan rumah. Rumahnya cukup besar, berada di dalam cluster sehingga rumahnya tidak memiliki pagar. Caca menyerahkan helm yang ia pakai pada sang supir motor—Janu.
“Ayo.” Janu mengajak Caca untuk masuk, berjalan di depan agar Caca bisa mengikutinya dari belakang.
Entah ide gila dari mana sehingga Caca bisa berdiri di depan pintu rumah laki-laki teman sekelasnya. Bahkan kalau di kelas, Caca dan Janu bukan teman akrab. Sesekali hanya teman satu kelompok, atau Caca menebeng Janu pulang ketika ditawari. Sebatas itu saja.
Dan entah keberanian dari mana Janu bisa membawa Caca untuk main ke rumahnya. Sudah pasti ia habis diledeki Papa dan Kakaknya nanti ketika Caca sudah pulang.
“Maaa…” Suara berat Janu memecah keheningan, memanggil Mamanya yang tidak terlihat keberadaannya.
Dari balik tembok, terpampang wanita paruh baya yang masih cantik dan segar. Mamanya terlihat sangat muda meskipun kakak Janu sudah berumur dua puluh lima.
“Hallo… siapa ini siapa?”
“Hallo, tante.” Caca mengambil tangan mamanya Janu untuk salim. Selesai salim, Mama memeluk Caca.
“Caca namamu?”
“Gesha tante. Tapi dipanggil Caca.”
“Aduh cantiknya nama kamu, seperti orangnya.” Puji Mama, yang membuat Caca tersipu.
Mama mengajak Caca untuk duduk, masih terus menggenggam tangan Caca, tidak mau lepas
“Tante seneng banget Ca, akhirnya Janu bawa pacarnya ke rumah. Tante udah paksa Janu terus kapan bawa pacarnya ke rumah, Janu selalu bilang ‘ga punya Mama’ tapi tante ga percaya. Eh ternyata pacar Janu cantik sekali.” Caca hanya tersenyum, kemudian melirik Janu yang terduduk di ujung sana. Janu hanya menggeleng, mengisyaratkan dia tidak tau apa-apa tentang apa yang mamanya bicarakan.
“Hehe iya tante. Maaf ya Caca baru main. Baru sempet, tante.” Ucap Caca bersandiwara, berharap bisa menyenangkan hati Mama.
“Iya gapapa. Tapi habis ini sering-sering ya main. Tante punya banyak cerita tentang Janu.”
Caca hanya mengangguk dan tersenyum, membuat Janu yang duduk di ujung sana salah tingkah sendiri. Senyumnya manis, dan tidak ada kepura-puraan dalam senyumnya Caca, begitu tulus saat ia meladeni mamanya yang tidak henti bicara itu. Lagi-lagi, Janu punya alasan untuk jatuh cinta pada Caca.
Mama mengambil album foto yang berisikan foto kecil Janu, menceritakan semua cerita konyol Janu waktu kecil yang membuat Caca tertawa tak henti. Janu yang masih duduk di sana hanya memandang dengan heran, mereka baru bertemu kurang dari satu jam tapi sepertinya semua cerita masa kecil Janu sudah Caca ketahui.
“Ma, kasian itu diajak ngobrol belum disuruh minum.” Kali ini Papa yang keluar dari dalam, perawakannya tampan dan tegas. Caca jadi tahu dari mana Janu bisa memiliki wajah setampan ini, Papa dan Mama Janu sangat tampan dan cantik.
“Hallo, om. Caca.” Caca berdiri, menghampiri Papa dan salim.
“Udah minum kok. Tuh liat tuh udah diminum airnya.” Protes Mama.
“Ya kamu kalau di sini mulu kapan Janu pacarannya, Ma.”
“Oh iya. Duh Mama lupa Ca. Maaf ya Ca.” Mama buru-buru bangun, kemudian menarik Papa untuk pergi dari ruang tamu, bahkan sebelum Caca menjawab ucapan mereka.
Kini tinggal Caca dengan buku album foto yang masih terbuka di pahanya, dan Janu yang memutuskan untuk pindah duduk ke dekat Caca.
Caca melanjutkan kegiatan membuka album foto kecil Janu, kemudian tertawa ketika ada foto yang dirasa lucu.
“Ini kapan Nu?” Tanya Caca sambil menunjukan foto Janu kecil memegang seekor Sapi.
“Tk kayaknya. Lupa juga gue, Ca.”
Suasana hening, Caca lebih asik melihat foto-foto dan Janu asik dengan ponselnya. Sampai diujung halaman dan Caca harus menutup album foto yang terbuka, karena sudah selesai.
“Ini, rapihin lagi.” Ucap caca pada Janu, sembari menyerahkan album foto yang cukup berat itu.
“Ca, tadi yang diomongin nyokap ga usah didengerin ya.”
“Yang mana?”
“Yang pacar.”
Caca hanya mengangguk. Ada sedikit rasa kecewa dari anggukan tersebut. Caca sudah berharap sedikit, tapi malah diminta untuk tidak berharap apa-apa.
Sejak ucapan Caca tempo hari tentang isi hatinya, Caca merasa ada jarak yang Janu bangun di antara mereka. Mereka tidak banyak bertegur sapa di kampus, bahkan tidak pernah berkirim pesan sebelumnya sampai tadi malam Janu mengomentari status whatsappnya.
“Mau liat kamar gue?” Tanya Janu memecah keheningan. Caca menengok kala mendengar pertanyaan itu, ia takut salah dengar.
“Kamar gue bersih kok. Biasanya anak-anak kalau main kesini ya di kamar.”
“Boleh.” Jangan tanya Caca kenapa ia menjawab pertanyaan Janu dengan jawaban boleh. Ia benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia mau diajak ke kamar laki-laki dan nanti hanya berduaan di dalam.
Janu memimpin, dan Caca mengikuti di belakang. Caca cukup terkejut karena kamar Janu sangatlah rapih. Ada dua buah sepeda yang digantung di tembok, kemudian meja komputer dengan layar yang cukup banyak, gitar di sudut kamar dan balkon kecil dengan dua buah bangku dan meja di tengah.
“Lo suka sepedaan?”
“Iya. Eh duduk ca. Duduk di mana aja.”
Caca mengangguk, kemudian mengambil duduk di kursi gaming yang berada di depan meja komputernya, dan Janu duduk di atas kasur.
“Sepedanya kok di taro di kamar?”
“Hahaha. Iya. Gue jadiin pajangan juga. Kalau ga dipake ya dipajang. Gitu.”
“Lo bisa naik sepeda?” Tanya Janu lagi. Caca geleng.
“Sumpah?”
“Iya. Hahaha. Gue ga bisa.” Jawab Caca sambil tertawa garing.
“Hahaha yaudah kapan kapan gue ajarin naik sepeda.”
“Sepeda ini?” Tanya Caca bingung sambil menunjuk pada sepeda yang terpajang di kamar Janu. Sepeda yang terpajang terlihat sepeda profesional dan mahal, tidak mungkin Caca belajar dengan sepeda seperti ini.
“Ya ngga. Banyak sepeda di rumah gue. Sepeda bibi aja nanti.”
Sudah masuk jam makan siang dan Caca diajak untuk makan siang dengan keluarga Janu. Dan saat itu lah Caca bertemu dengan kakak perempun Janu yang tidak kalah cantik dengan Mamanya.
Di atas meja makan, Caca lebih banyak bercerita tentang keluarganya. Bagaimana ia hidup di Jakarta tanpa Bunda dan Ayahnya, bagaimana sifat kakak dan abangnya, kelucuan mba di rumah, dan lain sebagainya. Caca terlihat lebih santai, dan Janu menikmati setiap tawa dari Caca. Lagi-lagi, Janu semakin jatub hati.
Selesai makan siang Caca membantu Mama cuci piring di dapur. Mama sudah menolak keras namun Caca kekeuh mau bantu. Akhirnya diperbolehkan Mama dengan syarat mencuci berdua dengan Mama. Kakak yang awalnya tidak tertarik dengan tamu Janu, malah jadi sirik sendiri karena Mama dan Caca terlihat begitu akrab berdua.
Caca pamit pulang setelah selesai makan siang bersama, karena memang rencana awalnya hanya makan siang bareng. Ada raut wajah sedih dari Mama, yang membuat Caca harus membuat janji akan mengunjungi Mama lagi.
“Makasih ya Ca.” Ucap Janu sesampainya mereka di rumah Caca.
“Ih gue yang makasih, Janu.” Jawab Caca sambil menyerahkan helm milik Janu.
“Yaudah, gue cabut ya.”
Caca mengangguk, dan Janu pergi meninggalkan Caca.