325.
Kalau air mata yang tumpah sejak setengah jam yang lalu ditampung, mungkin sudah bisa memenuhi satu botol air mineral ukuran 600 ml. Tangisan Sydney di dalam pelukan ibu yang baru ia kenal dua hari yang lalu belum mau berhenti. Padahal dia tidak merasa sakit, dia bahagia.
Sydney tidak pernah tau kalau ternyata pelukan seorang ibu senyaman ini. Yang Sydney tau hanya pelukan dingin dari sang mama yang ia dapati satu tahun sekali, atau bahkan dua tahun.
“Main ya ke Jogja. Ajak mama papa Sydney. Nanti tinggal di rumah Edith ya.” Kata ibu sambil menghapus air mata yang belum mau berhenti.
Kalau Sydney ikut lomba bercerita tentang orang tua, sudah pasti Sydney kalah. Sydney begitu jauh dengan orang tuanya, hidup berkecukupan tidak menjamin Sydney dapat kasih sayang yang layak dari orang tua, terlebih lagi mereka sudah resmi bercerai.
“Salam ya ke mama papanya Sydney,” kata ibu lagi. Sydney hanya mengangguk.
Gantian sekarang Edith yang minta jatah pelukan ibu. Edith pamit untuk pulang ke perantauan, menunaikan kewajiban lainnya sebagai seorang pegawai.
“Sydney, sering-sering wa ibu ya. Biar ibu punya temen ngobrol gitu loh,” kata ibu di pelukan terakhirnya. Sydney mengangguk.
Karena waktu penerbangan sudah dekat, Sydney dan Edith izin untuk check in dan masuk ke ruang tunggu. Meninggalkan ibu yang hanya melambaikan tangan di belakang.
Edith mencoba menghapus sisa air mata Sydney yang mulai mengering itu dengan tisu yang diambil dari tas Sydney. Sambil menertawai Sydney yang mukanya lebam khas orang habis menangis.
“Kenapa coba sayang kamu nangis nangis gitu?”
“Aku ga pernah dipeluk kaya gitu sama mama. Terus rasa pelukan ibu guh kayak anget, tenang, damai terus aku kebawa suasana deh,”
“Aku anaknya ibu, berarti pelukan aku rasanya sama kan?” Tanya Edith dengan muka menggoda, yang kemudian dihadiahi pukulan ringan di lengannya oleh Sydney.
“Aku tau banget kamu bakal disayang sama ibu. Mangkanya aku pede banget mau bawa kamu ke Jogja buat ketemu ibu.”
“Tapi udah ya mas jangan ajak aku main lagi abis ini. Aku bulan depan harus daftar sidang biar aku bisa wisuda semester ini.”
“Iyaaa,” Edith mencubit hidung Sydney gemas.
Sepanjang perjalanan Edith terus menggenggam tangan Sydney, seakan ia akan kehilangan Sydney beberapa menit kedepan. Tidak lupa ia kecup sesekali punggung tangan Sydney, atau mengelus lembut selama Sydney tertidur di bahunya. Dan kemudian ia ikut tertidur, mengistirahatkan kepalanya di atas kepala Sydney.