180.
Abe cukup terkejut ketika mendapat telepon dari satpam yang memberi tahu ada sosok wanita mengaku tamu dari Dewa di lobby apartemen. Abe buru-buru menggunakan cardigannya, turun ke bawah, dan bertemu dengan tamu yang satpam maksud. Wanita cantik itu memperkenalkan diri sebagai Aurel, dia bilang temannya Dewa.
Aurel sempat ragu karena bukan Dewa yang menghampirinya di lobby, tapi karena laki-laki di hadapannya bilang kalau benar Dewa masih tinggal di sana, ia jadi lanjut memperkenalkan dirinya.
Abe mengajak Aurel untuk naik ke atas dan mempersilakannya masuk ke dalam. Abe sedikit tak tega, Aurel tampak pucat dan berantakan, membawa tas gemblong besar di tangan, ia tak mungkin mengusir Aurel pulang.
“Mau minum apa, Kak?”
“Air putih aja, Mas.”
“Mas Dewanya masih di kantor, mungkin bisa dateng lagi besok kalau mau ketemu Mas Dewa.” Ucap Abe sembari memberi segelas air putih.
Ketika Aurel mengambil gelas minumnya, Abe tidak sengaja melihat beberapa lebam yang sengaja ia tutupi dengan baju lengan panjangnya, lebam yang cukup jelas di kulitnya yang begitu putih. Wajah cantiknya juga terlihat pudar, dan Abe yakin wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja.
“Kakak kenal Mas Dewa dari mana?” Abe coba mengajak Aurel mengobrol.
“Aku? Hmmm dari kuliah. Kebetulan kita satu tempat kuliah terus aku sempet kerja di Modjo juga.”
“Oya?”
“Iya. Kalau kamu?”
“Kalau aku, kita dikenalin dulu. Terus baru kenal kurang lebih setahun, lah.”
“Kamu siapanya Dewa?”
Pertanyaan Aurel barusan sempat membuat Abe menahan napasnya. Abe memilih tak menjawab, ia hanya tersenyum lebar.
“Eh udah makan belum kak?”
Aurel menggeleng.
“Oh, makan ya kak!” Abe bangun dari duduknya, menghangatkan jatah makan malamnya untuk Aurel. Tidak peduli ia akan makan apa nanti, ia bisa minta makan berdua dengan Dewa atau minta dimasaki ketika Dewa pulang nanti.
Aurel makan cukup lahap, seperti orang yang belum makan untuk waktu yang lama. Melihat ini semua, membuat Abe berpikir kalau wanita yang sedang makan di hadapannya pasti sedang kabur dari suatu tempat. Tapi Abe tidak mau tanya tentang itu, takut dikira ia ikut campur dengan masalah orang.
Aurel akhirnya bercerita tentang apa yang terjadi pada dirinya setelah selesai makan malam. Ia habis kabur dari rumah kekasihnya karena dipukuli. Minggu depan ia mau pulang ke keluarganya di Amerika. Dan ia butuh waktu untuk menyembuhkan luka-lukanya sebelum kembali.
Aurel juga sedikit bercerita tentang masa lalunya dengan Dewa dan Modjo. Tentang ketika ia bekerja di sana, tentang teman-temannya di Modjo, dan tentang hubungannya dengan Dewa.
Tadinya Abe tidak mau memberi tahu Dewa tentang kehadiran Aurel. Abe pikir, Aurel hanya akan mampir sebentar lalu pergi. Tapi mendengar cerita Aurel, sepertinya Aurel butuh tempat tinggal untuk beberapa hari sebelum pulang ke Amerika, dan Dewa harus tau ini semua.
Dewa tiba dengan tergesa-gesa, mengagetkan Abe dan Aurel yang sedang mengobrol di meja makan.
“Keluar lo dari rumah gue!” Dewa menarik tangan Aurel, menariknya keluar dari rumah.
“Ah, Dewa. Sakit. Tangan gue sakit.”
“Mas!” Omel Abe melihat Dewa seperti orang kesetanan.
Abe tahan langkah Dewa, ia paksa Dewa untuk melepas genggaman tangannya pada Aurel. Abe berbalik menarik Dewa masuk ke dalam kamar, Dewa perlu ditenangkan.
“Lo kenapa sih?” Abe bertanya sembari bisik-bisik, takut Aurel mendengar.
“Dia bukan mantan pacar gue!”
“Iya yaudah. Dia temen kuliah kan?”
“Dia bilang ke lo kalau dia mantan pacar gue?” Dewa masih kesal.
Abe mengangguk.
“Bukan. Dia bukan mantan pacar gue!” Jawab Dewa ketus.
“Iya iya yaudah,” Abe mencoba menghadapi Dewa dengan tenang, “Kenapa harus marah sih?”
“Dia tuh, ah. Suruh dia pulang!”
“Dia ga punya rumah buat pulang.”
“Terus? Urusan kita?”
“Dia mau gue suruh nginep di sini.”
“Abe!”
“Cuma seminggu. minggu depan dia mau ke Amerika. Dia kena abuse dari pacarnya.” Abe makin bisik-bisik.
“Ga peduli.”
“Mas…”
Panggilan Mas barusan benar-benar terasa seperti siraman air dingin pada api yang membara di tubuh Dewa. Dewa menatap Abe kesal, tapi ia tidak bisa marah.
“Be, lo ga tau dia. Dia tuh orang jahat.”
“Tapi gue kasian sama dia. Badannya lebam biru-biru, Mas.”
“Gue ga peduli!”
“Mas…” Abe coba untuk memeluk Dewa yang masih emosi, membuat Dewa semakin tidak bisa membantah Abe.
Abe, berhasil menyerang titik terlemah Dewa.
Dewa diam cukup lama, mengatur napasnya yang terasa berat sejak ia menerima pesan dari Abe tadi. Rasa panas di kepala berubah jadi rasa pening, Dewa tak mau tapi kalau Abe sudah minta seperti ini, ia tak bisa berbuat apa-apa.
“Oke seminggu. Ga boleh lebih dari seminggu. Minggu depan kalau dia belum pergi juga gue seret keluar dari rumah.”
Abe hanya mengangguk.
Abe tak tahu apa yang membuat Dewa begitu membenci wanita itu. Abe juga sempat takut melihat Dewa yang marah barusan. Dewa yang biasanya terlihat tenang di mata Abe, tiba-tiba jadi seperti orang kesetanan. Tapi memikirkan bagaimana wanita itu akan luntang-lantung di jalan membuat Abe mau tak mau memberanikan diri melawan Dewa.
“Udah ah ga usah marah-marah gitu.” Ucap Abe sambil melepas pelukannya.
“Satu syarat,” Dewa berhasil menahan Abe yang mau melangkah keluar,
“Apa?”
“Percaya sama gue kalau dia bukan mantan pacar gue.”
Abe mengangguk, “Iya Dewa. Gue percaya sama lo.”
“Satu lagi.”
“Apa lagi?”
“Bilang ke dia kalau lo suami gue.”
Abe sedikit tertawa cengengesan mendengar ucapan Dewa barusan.
“Mandi gih. Bau ih dari luar seharian.”
Dewa panik langsung menciumi baju yang ia pakai, tidak ada bau keringat di bajunya dan tentu masih wangi perfume. Bagian mana yang bau?
Abe meminta Aurel untuk mandi dan istirahat di kamar. Terima kasih untuk Aurel karena Abe akan tidur di kamar Dewa selama satu minggu kedepan dan berpura-pura jadi suami yang baik bahkan di rumah juga.