328

Edith menggulung lengannya sembari berjalan menuju tempat di mana ia akan menunggu Sydney selesai prosesi wisuda, di sana teman temannya juga sudah berkumpul, sedikit melepas rindu karena sudah cukup lama tidak berjumpa.

“Do, Sat, Nan, Yan.” Sapa Edith menyalami satu per satu keempat temannya.

“Siap kan?” Tanya Keenan sembari merangkul Edith. Edith hanya mengangguk.

“Kok lo ga pake jas sih?” Kini giliran Satria yang bicara.

“Eh, aku harus pake jas?” Jawab Edith panik.

Di belakang, Tian dan Orlando menertawai Edith yang memasang muka panik. Edith sedikit kebingungan.

“Yailah Dith, Satria didengerin.” Jawab Keenan yang masih merangkul Edith.

Prosesi wisuda berjalan cukup lama. Sydney sudah mengomel mengantuk dan lapar di dalam sana, dan Edith terus menemani Sydney dari balik ponselnya.

“Ade gue udah selesai.” Ucap Orlando. Dan seperti sebuah perintah, semua mulai bergerak sesuai dengan tugasnya.

Orlando adalah orang pertama yang menjalani tugasnya. Ia di tugaskan untuk menjemput Sydney bersama mama dan papanya di depan pintu keluar dan membawa Sydney ke arah Edith. Orlando sudah pergi menjalankan tugasnya.

“Lo pasti bisa.” Ucap Keenan sekali lagi, sembari menepuk pundak Edith yang kaku.

Dari kejauhan sudah nampak wajah cantik Sydney dan Orlando yang berjalan menghampiri Edith. Edith seperti ditarik ke kejadian dua tahun yang lalu, di mana ia berdiri dengan posisi yang sama, menatap Sydney yang sedang bercanda gurau dengan Orlando dari kejauhan. Jantungnya mulai berdetak berantakan, percis seperti yang ia rasakan dua tahun lalu. Ia tarik napas dalam untuk menenangkannya.

Beda dari dua tahun lalu, kala itu Sydney langsung menampilkan wajah masamnya kala bertemu dengan Edith. Namun kali ini ia tersenyum, berjalan sedikit melompat kegirangan sembari melambaikan tangannya.

Edith melangkah maju, merebut pelukan pertama dari Sydney.

“Selamat ya, sayang.” Ucap Edith setelah berhasil memeluk Sydney,

“Aaaaa aku lulus mas.” Jawab Sydney kegirangan.

Edith mengambil tangan Sydney untuk ia genggam, kemudian melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.

“Irene sama Gia mana sih? Dihubungin susah banget. Kita kan mau foto-foto dulu,” Ucap Sydney sembari bermain dengan ponselnya.

“Susah sinyal kayaknya, yang.”

Sydney yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya tidak sadar kalau ia sudah diajak Edith ke suatu tempat yang sudah Edith rencanakan.

“Ga bisa dihubungin mas,” Sudney kesal sendiri pada teman-temannya yang sulit dihubungi.

“Coba pake handphone mas nelponnya,”

“Jangan cemberut ih, nanti cantiknya ilang.” Edith menarik pipi Sydney agar membentuk senyuman. Bukannya mendapatkan senyuman, Edith malah kena pukul di tangannya,

“Mas, nanti make up aku rusak kamu pegang-pegang.” Ucap Sudney melotot.

“Eh—oh— sayang. Maaf.” Edith panik, mencoba merapihkan make up di pipi Sydney.

“Iseng.” Balas Sydney sembari mencubit pipi Edith.

Di sisi lain, Keenan Tian dan Satria sedang bersembunyi menunggu aba-aba dari Edith dan Orlando. Berusaha semuanya berjalan sesuai rencana.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Irene dan Gia. Irene bilang Gia sempat ke kamar mandi sehingga mereka terlambat.

“Sini mas fotoin,” Edith berjalan mundur, mencari posisi yang tepat untuk mengambil gambar.

“1… 2… 3…”

“Yang banyak mas” teriak Gia

“1… 2… 3…”

“1… 2… 3…”

“1… 2… 3…”

“1… 2… 3…”

Selesai mengambil gambar, Sydney menghampiri Edith untuk melihat hasil jepretan Edith kemudian menunjukan pada teman-temannya. Dan mereka bertiga hanya tertawa karena ada beberapa pose yang lucu.

Hari sudah mulai sore kala Sydney selesai berfoto dengan teman-teman, keluarga dan tentunya Edith. Sydney yang asik melihat hasil jepretannya hari ini, tidak fokus dengan apa yang Edith persiapkan di hadapannya.

“Sydney,”

“Hm?”

Edith merendahkan tubuhnya, melipat satu kakinya untuk diletakan ke tanah. Ia juga mengeluarkan kotak beludru yang sedari tadi terhimpit di kantung celananya.

“Mau nikah sama mas?” Ucap Edith sembari membuka kotak beludru berisikan cincin cantik di hadapan Sydney.

Sydney yang terkejut hanya menutup mulutnya dengan telapak tangannya, kemudian mulai menggigit bibirnya yang kelu.

Air matnya mulai berlinang, entah ini tangis bahagia atau tangis karena ia terkejut. Ia benar-benar tidak menyangka akan dilamar oleh kekasihnya di hari wisudanya.

Sydney kemudian menarik Edith untuk bangun dan memeluknya. Air matanya jatuh semakin deras. Persetan dengan make up yang rusak, Sydney tidak peduli.

“Kok nangis?” Tanya Edith sembari memeluk Sydney,

“Mas maaah huhuhu.” Jawab Sydney dalam tangisnya.

Edith melepas pelukannya untuk bertanya sekali lagi. Cincin yang ia siapkan belum bertengger di jari manis Sydney.

“Mau?”

Sydney mengangguk.

Anggukan Sydney membuat Tian, Satria dan Keenan keluar dari persembunyiannya untuk memecahkan confetti dari party pooper yang disiapkan. Tidak lupa Keenan menyerahkan bunga ke Edith untuk diberikan ke Sydney.

“Kok? Kok ada mas Satria, mas Keenan sama mas Tian?” Tanya Sydney yang sedikit terkejut.

“Hahaha iya. Mereka yang rencanain semua, sayang.”

Cincin sudah terpasang cantik di jari manis Sydney, dan Edith mendapat tepukan tangan dari orang-orang yang sedari tadi menyaksikan di sekeliling mereka.

“Makasih ya, Sayang.”

“Mas emang udah dapet izin dari Papa sama Mama mau nikahin aku?” Ledek Sydney mencoba menggoda.

“Udah dong. Sebelum aku ngelamar kamu, aku izin dulu sama Mama Papa kamu. Aku juga kasih tau rencana hari ini.”

“Aih pantesan ga banyak protes mereka nungguin aku foto sana foto sini. Kerjaannya mas ternyata.”

“Hehe iya. Emang rencananya bikin kamu ngira ya kaya wisuda biasa aja. Eh ternyata aku lamar ya?”

Kemudian Sydney kembali memeluk Edith. Ia begitu bahagia hari ini. Entah mengapa baru membayangkan hidup bersama Edith saja rasanya sudah sangat bahagia, apalagi kalau sudah benar terjadi nantinya.

Sydney tahu ia mungkin masih terlalu muda untuk mengambil keputusan berumah tangga dengan Edith, tapi ia yakin Edith pasti bisa menjadi kepala keluarga yang baik untuk keluarga kecilnya nanti.

Begitupun dengan Edith, sejak pertemuan pertamanya, Edith sudah yakin kalau Sydney akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Sydney yang mungkin terlihat seperti anak-anak sebenarnya memiliki sisi dewasa yang membuat Edith begitu yakin dengan keputusannya. Lagi pula, apa yang Edith tunggu untuk menunda menikahi Sydney jika bisa secepatnya?

“Nanti wa ibu ya. Kasih tau jawaban kamu. Aku dari tadi di spam chat sama ibu nanya jawabannya apa.”

Sydney hanya mengangguk sembari tersenyum. Kemudian memeluk lengan Edith untuk bersandar.