Kejadian Tidak Terduga
Ada perasaan tidak nyaman yang menghantui Mario beberapa hari terakhir sejak tuduhan pertamanya pada sosok yang bahkan tidak ia kenal dekat, Kiara. Kalau saja ia diberi kesempatan untuk memutar waktu, ia akan memilih mundur ke tiga hari yang lalu untuk tidak menuduh, atau bahkan empat hari yang lalu untuk menolak mentah-mentah ajakan Harsa, atau bahkan enam bulan yang lalu untuk tidak mangajak Bianca berkencan.
Mungkin terdengar menyedihkan, namun begitulah suasana hati Mario beberapa hari terakhir. Mario lebih banyak merenung di ruang sekre BEM Universitasnya, merebahkan tubuhnya pada karpet tipis berwarna abu sambil menatap kosong ke atap. Meratapi kejadian-kejadian yang sudah berakhir menjadi penyesalan untuk Mario.
Mario menancap gas mobil sedan hitamnya, sudah duduk di samping kirinya Jeremi yang sedang sibuk dengan ponselnya, membelah jalanan kampus di siang hari yang terik ini. Jarak sekre BEM Universitas dengan fakultasnya cukup jauh, tapi Mario suka menempuh jarak jauh itu hanya untuk sekedar melamun. Untungnya ada Jeremi yang punya keperluan di sekre siang ini, membuat Mario setidaknya punya alasan lain.
“Kira-kira gue ngomong apa ya nanti?”
Jeremi mengunci ponselnya waktu Mario mulai buka suara, “Kenalan dulu ga sih? Kayaknya lo belum proper kenalan sama dia?”
Jeremi benar, rasanya perkenalan diri kemarin di direct message belum benar. Apalagi Mario memilih tanpa basa basi menuduh Kiara, pasti sudah tidak ada kesan baik yang Mario tinggalkan.
Butuh waktu sepuluh menit perjalanan untuk sampai di fakultasnya, untungnya parkiran sedikit kosong sehingga Mario tidak perlu susah payah untuk memarkirkan mobilnya.
Mario saat ini sudah berdiri mantap di pintu masuk kantin, mengedarkan pandangannya untuk mencari teman-temannya yang sudah sampai terlebih dahulu.
“Mar,” teriak Harsa dari meja belakang. Mario mengangkat tangannya kemudian berjalan mendekat.
Di meja lain, Claudya, Tania dan Kiara sedang menikmati santap siangnya.
“Itu Mario,” bisik Tania yang membuat Claudya dan Kiara reflek menengok bersamaan ke arah yang Tania maksud.
“Ganteng anjir,” kini giliran Claudya memuja.
“Biasa aja.” Jawaban dari Kiara barusan benar-benar menghancurkan fantasi Tania dan Claudya. Bagaimana sosok tampan dengan senyum ramah itu bisa dianggap biasa saja oleh Kiara?
“Gue doain naksir lo, Ra.”
“Tolong jangan ngedoain yang nggak-nggak ya ibu Tania,” jawab Kiara ketus.
Bohong kalau Mario ‘biasa saja’ di mata Kiara. Mario dengan cuma-cuma mendapat gelar Presiden Mahasiswa tertampan dalam sepuluh tahun terakhir di kampusnya, dan tidak mungkin untuk Kiara berpendapat lain. Kalau iya, mungkin Kiara harus mendapatkan perawatan pada matanya.
“Mau kemana abis ini? Kelas masih jam tigaaa… hoaaa—” kegiatan menguap Tania terputus karena laki-laki yang jadi perbincangan panas mereka sudah berdiri tepat di samping meja mereka.
“Hai, sorry ganggu.” Katanya canggung.
“Oh, gue Mario,” Si laki-laki langsung mengulurkan tangannya, menggantung tepat di hadapan Kiara.
“Kiara,” jawab Kiara sambil menyalami.
Perkenalan berlanjut ke Tania dan Claudya.
“Eh, duduk aja.” Claudya mempersilakan si laki-laki untuk duduk. Ada sisi kosong di depan Kiara, di samping Claudya.
Mario yang merasa canggung terus mengelus tengkuk belakangnya, kemudian menurut untuk duduk di samping Claudya.
“Kita ganggu?” Tanya Tania menggoda, “Gue sama Claudya cabut ga sih?”
Tangan Kiara dengan secepat kilat menahan tubuh Tania dari bawah meja, meremas paha Tania sebagai hukuman atas ucapannya barusan.
“Eh ga usah, bentar doang kok gue.” Jawab Mario.
“Oke Kiara. Gue mau minta maaf secara langsung buat kejadian kemarin. Gue ngerasa ga enak banget.”
“Perasaan gue udah maafin deh?”
“Iya, tapi kayaknya belum selesai kalau gue belum minta maaf langsung.”
Kiara mengangguk paham.
“Gimana deh ceritanya foto lo bisa masuk base?” Kini giliran Tania yang bicara.
“Gue sama temen-temen gue lumayan sering ke todays sebenernya. Terus Harsa, temen gue ngeliat katanya gue diem-diem difoto anak Neo waktu gue lagi jalan keluar. Terus gue ketemu Kiara di luar, mangkanya gue nuduh Kiara. Gue gak ketemu anak Neo lain selain Kiara soalnya. Udah dicari akun yang ngirim, langsung deactive saat itu juga katanya.”
Ada pesona sendiri yang bikin Kiara panas dingin waktu ngeliat cara Mario ngejelasin keadaannya. Kiara hanya menatap lurus Mario, tanpa memberi satupun sanggahan.
Yang ditatap ikut salah tingkah, kemudian balas dengan senyuman canggung karena merasa dirinya ditatap dalam.
“Ih jahat banget deh orang,” kini giliran Claudya yang menjawab.
“Ara,” senggolan bahu dari Tania membuyarkan lamunan Kiara pada sosok yang duduk di hadapannya. Dunianya kembali, kemudian bergantian ia tatap Tania.
“Apa?”
“Itu,” kata Tania sambil menunjuk Mario dengan dagunya.
“Oh, iya. Gue udah maafin kok.” Jawab Kiara mencoba seramah mungkin.
“Thanks God. Kalau gitu gu—,” Pamitan Mario terputus karena suara getaran dari ponsel Kiara yang berada di atas meja.
drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt… drrrt…
“Wait,” Kiara bangun, menjauh dan meninggalkan ketiga temannya.
Kiara kembali ke meja dengan keadaan setengah berlari. Mukanya panik dan matanya merah.
“Ra, kenapa?” Tanya Tania yang ikut panik.
“Bokap kecelakaan.” Jawab Kiara singkat sambil menarik paksa tasnya, lari pergi tanpa pamit ke teman-temannya yang kebingungan.
Entah tuntutan dari mana, Mario yang menyaksikan kejadian barusan ikut lari menyusul, mengikuti Kiara yang berlari panik tanpa arah.
“Kiara,” Mario menahan laju Kiara dengan menarik salah satu tangannya.
“Gue harus apa? Pesen gojek? Ah iya,” katanya bicara asal. Bibir bawahnya digigit dan tangannya bergetar hebat, menandakan kalau ia benar-benar panik.
“Gue anter,” Mario menggandeng satu tangan Kiara, menariknya ke arah parkiran mobil. Membuka pintu penumpang dan mempersilakan Kiara masuk. Kemudian berlari ke pintu lainnya untuk mengemudikan mobil.
“Rumah sakit mana?” Mario langsung melajukan mobilnya, tanpa menunggu aba-aba.
“Kiara?” Panggilan barusan dibuat Mario karena tidak ada jawaban dari pertanyaan pertamanya. Mario mendapati Kiara sudah menunduk dengan wajah ditutup oleh telapak tangannya.
“Kiara?” Panggilnya lagi, ia jadi ikut panik karena tidak tahu harus bawa Kiara kemana,
“Huaaaaaaaaaaaaaaa,” Tangisnya pecah, “Papaaaaaaaa.”
“Iya oke. Papa. Papa lo di mana? Ayo kita susulin papa lo,”
“Papaaaaaaaa,”
“Kiara? Iya ini kita nyusulin papa lo. Beliau dibawa ke rumah sakit mana?”
“Di Mount Sinai, Torontoooo,”
srrrt. Suara gesekan ban yang dipaksa berhenti cukup nyaring, meninggalkan Mario yang masih mencerna ucapan Kiara barusan, kemudian sedikit tertawa di kursinya sambil memijat kecil kening.
Bodoh sekali Mario, sudah menarik paksa Kiara tanpa bertanya, dan langsung menancap gas tanpa tahu tujuannya.
Mario membawa Kiara ke sebuah parkiran salah satu fakultas, membiarkan Kiara menangis di dalam mobil. Barusan Kiara sudah mendapat kabar terbaru melalui telepon, katanya papanya tidak dalam kondisi menghawatirkan. Kejadian kali ini benar-benar tidak terbayangkan Mario sama sekali. Mario tidak bisa berhenti tersenyum, sambil terus menatap Kiara yang belum mau berhenti menangis.