14

Dena berdiri tepat di sebelah kanan pintu masuk utama hall gymnasium yang jadi tempatnya bertanding pagi tadi, menendang-nendang lantai untuk mengusir rasa bosannya. Dena lanjut membuka beberapa aplikasi di ponselnya, setidaknya dia ingin terlihat sedikit sibuk dan tidak seperti orang yang sedang menunggu. Dari kejauhan, sudah terpampang senyum manis dari laki-laki yang beberapa hari terakhir sudah berhasil memporak porandakan pikirannya, yang tanpa permisi sudah jadi alasan perut Dena terasa menggelitik karena tingkahnya.

“Lama ya?” Kata si laki-laki waktu berdiri tepat di hadapan Dena, Dena menggeleng karena memang belum lama ia menunggu.

Langit—si laki-laki pemilik senyum manis langsung merebut tas berisi raket dari bahu Dena, dan memindahkan ke bahunya. Sudah jadi kebiasaan baru Langit untuk membantu membawakan tas raket Dena, selain untuk menunjukan kejantanan Langit, ternyata tas berisi raket-raket itu cukup berat. Kalau Dena sih dengan senang hati kalau Langit berinisiatif membawakan tasnya.

“Ayo,” ajak Langit setelah selesai menyelempangkan tas Dena dengan nyaman di bahunya. Dena mengangguk girang.

“Besok tanding lagi berarti?” Tanya Langit di tengah perjalanan mereka.

“Iyaaa. Finalnya besok. Doain ya,”

“Pasti lah,” Langit menatap Dena, “Gue perlu dateng?”

“Ngga usah. Do’ain aja. Besok senin Langit. Mau bolos?”

“Iya. Kalau gue nonton kan gue jadi punya alasan buat bolos.” Jawab Langit sambil tertawa iseng.

Dena merasa Langit terlihat jauh lebih tampan jika menggunakan baju santai seperti ini. Hati mana yang tidak berdegup kencang kalau lelaki setampan ini berjalan di sampingnya, menertawai setiap lelucon yang bahkan sebenarnya tidak lucu.

“Denallie anjay, selamat ya.” Sapa Nadeo yang sudah menunggunya dengan seorang laki-laki di bawah sebuah pohon, mememberikan tangannya untuk Dena ambil.

“Hahaha, thanks Nadeo.” Tawa Dena garing, tidak lupa mengambil tangan Nadeo untuk dibalas salamnya.

“Jerrico,” Ada tangan lain yang menggantung di hadapan Dena, padahal belum selesai urusan salamannya dengan Nadeo.

“Eh,” Buru-buru Dena memutus salamannya dengan Nadeo untuk mengambil tangan selanjutnya, “Denallie,” jawab Dena.

Jerrico tersenyum setelah salaman mereka terputus, “Oh ya Denallie, gue follow lo di Instagram. Accept ya!”

“Eh panggil Dena aja. Denallie kepanjangan,”

“Oke, Dena.” Jawab Jerrico sambil senyum, yang dibalas senyum juga oleh Dena.

Obrolan berlanjut dengan pembahasan basa-basi khas orang yang baru berkenalan. Rumah di mana, wali kelas siapa, eskul apa dan masih banyak lainnya.

Senyum Jerrico belum mau luntur juga sejak tiga puluh menit yang lalu, padahal matahari sedang terik-teriknya.

Tapi tidak dengan laki-laki berkaus hitam yang berdiri di samping Dena. Senyumnya sudah luntur dari tiga puluh menit yang lalu, mungkin karena terik matahari, atau karena panasnya api cemburu yang membakar egonya?

“Ayo pulang,” ajak Langit, yang akhirnya buka suara.

“Eh pulang? Cepet banget?” Jerrico mencoba menahan, karena ia baru saja berkenalan dengan Dena.

“Besok dia tanding lagi, harus istirahat.” Jawab Langit ketus.

“Eh iya. Sorry ya ga bisa lama-lama. Besok gue mau tanding lagi jadi gue harus istirahat.” Dena memelas, ia masih mau berlama-lama berbincang dengan teman barunya. Tapi sepertinya tidak untuk hari ini. “Makasih ya kalian udah nonton.” Lanjut Dena.

Jerrico dan Nadeo mengangguk paham, merelakan Dena dan Langit yang terlebih dahulu meninggalkan mereka berdua.

Hari ini matahari sedang terik-teriknya, dan Langit menjadikan matahari sebagai alasan pada rasa panas yang menerpanya saat ini.