8.
Langit menarik kerah baju laki-laki bernama Trian yang sedang tertawa di warung samping sekolah—Amang. Dalam satu tarikan, Trian berhasil diseret keluar oleh Langit yang amarahnya sudah dalam puncaknya.
“Pengecut, najis.” Ucap langit sembari mendorong keras laki-laki bernama Trian itu, yang didorong ditangkap oleh teman yang lainnya.
Kalau saja Jerrico dan Nadeo terlambat sepuluh detik sampai di sana, mungkin Langit sudah kehilangan akalnya untuk menghabisi Trian.
“Ngit… ngit… tahan,” Tahan Jerrico sembari memeluk tabuh langit yang mencoba memberontak.
“Masalah lo apaan, anjing?”
“Ga usah pura-pura bego deh lo, bangsat.”
“Belain cewe lo?”
Mendengar ucapan Trian barusan malah membuat Langit semakin tidak bisa dikontrol. Langit benar-benar ingin mendaratkan bogemnya pada wajah tengil Trian.
“Ya emang cewe murahan, anjing.”
“Bangsat—”
brug satu pukulan berhasil melayang, Langit terlepas dari pelukan Jerrico.
Jerrico menarik Langit kembali, menahannya untuk tidak melanjutkannya. Yang dipukul jatuh, bahkan tidak ada yang berani menolong karena Langit lah lawannya.
Trian bukanlah siapa-siapa di sekolah, hanya lelaki julid yang terkadang berbicara sembarangan di base twitter sekolah. Kali ini ia dengan berani menyenggol Denallie, kekasih Langit.
“Lo anjing tau ga? Lo kalau ditolak cewe jangan kaya banci dong. Mana mau Dena sama banci kaya lo.” Teriak Langit yang masih berusaha Jerrico tahan. Langit benar-benar sudah tidak bisa dikontrol.
Denallie mengambil minum setelah latihan dengan salah satu juniornya, yang memang butuh latihan lebih. Hari ini tidak ada jadwal latihan, tapi Dena memilih untuk membantu juniornya latihan, agar terhindar dari Langit.
Dena mengecek handphonenya, betapa terkejut ia melihat notifikasi chat di ponselnya dari teman sekelasnya sekaligus teman dekat Langit, Nadeo.
Dena bahkan menjatuhkan air minum yang sudah terbuka, membiarkan airnya tumpah berserakan ke lantai. Tanpa pamit, ia lari keluar meninggalkan lapangan bulutangkis.
Sesampainya di Amang, Dena berhenti tepat di belakang Langit, merukuk mengatur napasnya setelah latihan dan berlari barusan. Ia sedikit lega karena tidak ada acara tonjok-tonjokan seperti yang ia khawatirkan sepanjang larinya.
“Langit…” Ucap Dena dalam tarikan napasnya, ia masih ngos-ngosan.
Panggilan tersebut berhasil mengalihkan konsentrasi semua orang, termasuk Langit.
Langit memaksa melepaskan pelukan Jerrico, menghampiri Dena yang masih bersiri merukuk itu.
“Kamuh… ngapainh… berantemh… hahhh…” ucap Dena setelah berhasil berdiri, menyilangkan tangannya dan menatap Langit tajam.
“Dia yang kirim tweet tentang kamu di base,”
“Kata kamu ga penting?”
“Mulai sekarang penting. Semua tentang kamu penting buat aku.”
Dena menarik Langit menjauh dari Amang, tangan mereka bertaut sampai ke dalam Gymnasium.
“Maaf ya,” Langit mengelap peluh dari dari Dena dengan handuk Dena yang berada di kursi istirahat. Dena hanya mengangguk.
“Aku yang minta maaf. Udah kaya anak-anak ngambek sama kamu,”
Langit menggeleng cepat.
“Kamu wajar marah. Aku yang salah malah cari-cari kesalahan Trian. Harusnya aku ga kaya gitu,”
Dena hanya mengangguk, kemudian tersenyum.
“Ayo pulang,” ucap Langit sembari memasukan barang-barang Dena ke dalam tas raketnya.
“Tapi yang…”
“Hm?”
“Ini aku ngepel dulu. Airnya aku tumpah gara-gara baca chat dari Nadeo kamu berantem.”
Kemudian mereka tertawa berdua, menertawai bagaimana cinta bisa selucu ini.