Sydney
ting… nong…
Gue kebangun gara-gara suara bel di pintu apartemen mas Edith. Waktu bangun gue cek handphone buat liat jam, dan ternyata udah jam sepuluh pagi.
ting… nong…
Gue sedikit baca chat mas Edith dari halaman notifikasi, mas Edith bilan dia udah berangkat dari Bandung, sekitar satu jam yang lalu.
Bentar, mas Edith secepat itu perjalanannya jam segini udah sampe Jakarta?
Gue melangkah malas kelur kamar, menarik tubuh gue yang masih setengah sadar ini. Kalaupun itu mas Edith, kenapa ga langsung masuk aja? Kenapa harus pencet bel? Ini kan rumahnya dia?
Ceklek
“Hoam… Ma—,” ucapan gue terputus waktu mendapati bukan mas Edith yang berdiri di depan rumah. Gue melotot kaget.
Ada tiga orang wanita, dua paruh baya dan satu masih muda sedang berdiri kebingungan di depan pintu apartemen mas Edith. Gue yang setengah sadar ini langsung melek waktu mendapati ternyata bukan mas Edith yang pencet bel.
“Eee… cari siapa, bu?” Tanya gue sedikit hati-hati.
“Mas Edith. Ini apartemennya mas Edith bukan ya? Bener kok unitnya 143.” Jawab si perempuan muda yang umurnya sekitar 20 tahunan itu.
“Mas Edith?”
“Iya. Bener bukan yo ini rumahnya Edith? Aku dikasi alamate iki kok,” jawab si ibu paruh baya yang berdiri tepat di hadapan gue.
“Bener, bu. Ini rumah mas Edith.” Jawab gue sepelan mungkin.
Bukannya menampakan wajah bahagia karena berhasil sampai di rumah yang mereka cari, ketiga wanita yang berdiri di depan gue malah masang wajah masam. Mereka pun ngeliat gue dari kaki sampe kepala balik lagi ke kaki.
“Edithnya mana?”
“Oh. Mas Edith masih perjalanan dari Bandung. Masuk dulu bu, Silakan.” Gue mencoba masih bersikap ramah ke mereka yang bahkan gue tidak tau mereka siapa. Tapi dari logatnya, gue yakin kalau mereka kerabat dekat mas Edith dari Jogja.
Gue yang masih pakai piama buru-buru masuk kamar buat ganti baju setelah berhasil nyuruh mereka duduk di ruang tv. Gue juga lanjut cuci muka dan sikat gigi karena gue bener-bener baru bangun.
Waktu sambil cuci muka, gue nyoba telepon mas Edith dan ga diangkat sama sekali. Mungkin mas Edith udah di tol, dan mas Edith bukan tipe yang main handphone kalau lagi nyetir.
“Diminum dulu, silakan.” Gue menyiapkan tiga cangkir teh manis hangat buat tamu mas Edith. Agak bingung juga sih ini gue menjamu tamu orang, padahal gue juga tamu di sini.
“Saya ibunya Edith, saya dari Jogja,” ucap ibu paruh baya itu setelah minum teh hangat buatan gue,
“Kamu siapanya mas Edith?” Tanya si perempuan muda dengan ketusnya, “Kok bisa tidur di rumah mas Edith? Kalian serumah?”
“Eh e—enggak. Kita ga serumah. Kebetulan hmm…” Gue mikir alasan yang logis, “…internet di rumah mati jadi aku numpang skripsian di rumah mas Edith.” Kata gue canggung.
Gue yakin mereka ga percaya, tapi gue berusaha buat ga ngasih kesan buruk dipertemuan pertama gue sama ibunya mas Edith.
Gue juga langsung chat mas Edith. Gue bilang semuanya dari ibunya dateng sampe alasan yang gue buat barusan.
“Saya boleh liat-liat rumah Edith?” Tanya ibunya mas Edith sedikit lebih ramah dari mbak-mbak muda itu, “Eh yo namamu siapa?”
“Oh, aku Sydney bu.” Jawab gue canggung.
Mereka bertiga keliling rumah mas Edith. Di rumah ini tuh ada 2 kamar, satu kamar utama dan satu kamar tamu. Terus ada dapur kecil, kamar mandi dan ruang tv. Apartemen ga terlalu besar, cocok buat ditinggalin keluarga kecil.
“Kamu udah lama numpang di sini?” Tanya ibunya mas Edith waktu gue nemenin mereka keliling rumah.
Bentar, numpang tuh kesannya gue ga punya rumah gitu ya.
“Ngga. Saya baru semalam kesini. Kebetulan rumah saya ga jauh dari sini.”
“Kenal Edith dari mana?”
“Mas aku temen kuliahnya mas Edith,”
Si ibu ngangguk, beda sama si wanita muda yang dari tadi ngelirik gue judes banget.
”Saya ke Jakarta, karena mau ketemu Edith. Kangen sekali sudah sebulan ga ketemu,” kata ibunya waktu kita semua udah balik duduk di ruang tv.
“Kenalin, saya Bella, calon istrinya mas Edith.”
Jeger, rasanya kaya disamber petir siang bolong. Calon istri? Calon istri mas Edith dari Jogja dateng ke Jakarta? Hah? Apaan sih?
“Sydney,” gue nyoba setenang mungkin buat salaman sama perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Bella ini.
Dan ibu paruh baya satu lagi adalah adiknya ibunya Edith.
“Ibu kalau mau istirahat boleh, di kamar tamu. Silakan,” waktu gue mempersilakan mereka, semua masuk ke kamar tamu buat beres-beres barang. Gue juga langsung lari ke kamar mas Edith buat cek handphone, dan masih nihil jawaban dari mas Edith.
“Sydney…”
“Iya bu…” gue lari nyamperin ke luar kamar waktu denger nama gue di panggil. Terus bener aja si ibu udah berdiri di depan kamarnya mas Edith.
“Sydney, ibu mau masak untuk Edith. Tapi tadi ibu liat kulkasnya Edith kosong. Kalau mau beli sayur di mana ya?”
“Oh. Mau Sydney anterin ke supermarket?”
“Boleh,”
“Yaudah. Sydney ganti baju dulu ya bu,”
Gue masuk lagi setelah dapet anggukan dari beliau. Aduh apa lagi ini gue belanja sama ibunya mas Edith.
Untungnya, semalam gue bawa mobil jadi gue bisa nganter ibunya mas Edith tanpa bingung mau naik apa. Waktu udah hampir jam 11 dan gue belum dapet kabar apa-apa dari mas Edith.
“Sydney, jujur sama saya kamu pacarnya Edith ya?” Tanya ibunya waktu gue dan beliau sudah berduaan di dalam mobil. “Kamu bukan adiknya teman Edith yang tiba-tiba numpang internet di rumah Edith, kan?”
“Hehe, iya bu. Kami dekat.”
Tatapan muka ibunya berubah jadi lebih tegas. Ada raut kekecewaan dari mukanya. Mungkin ibunya kecewa karena anaknya berani mengajak perempuan ke dalam rumah, meskipun gak ada anaknya.
Sepanjang gue nemenin ibunya belanja pun, gue gak diajak ngomong sama sekali. Ibunya sibuk pilih-pilih bahan masakan, dan gue ngikutin di belakang dorong troli.
“Edith ke Jakarta karena ga mau dijodohi,” katanya memecah kesunyian. Kita berdua udah selesai belanja dan udah balik lagi ke mobil.
“Saya ke Jakarta, ajak Bella biar Edith ingat kalau dia punya calon istri di Jogja yang nungguin dia,”
Sumpah, siapa sih yang naro bawang di sini. Kok mata gue perih?
“Saya jadi tau, ternyata kamu yang bikin Edith ga mau dijodohi. Kamu yang bikin Edith melawan saya.”
Deg, gue langsung ngencengin genggaman gue ke setir yang lagi gue pegang, menggigit bibir bawah gue biar tangis gue ga pecah. Gue baru saja dihakimi oleh seorang ibu yang baru gue temui satu jam yang lalu, dan dia bilang kalau anaknya jadi melawan ibunya gara-gara gue.
Gue mencoba tidak menjawab apapun, tangan gue udah gemeteran parah. Jantung gue sakit banget, kayak ada yang nusuk dari segala sisi. Gue baru aja ngerasain bahagia sama mas Edith, masa udah harus dipisahin?.
“Kamu pulang aja. Saya bisa naik sendiri ke atas.” Katanya sambil menarik barang belanjaan yang baru aja gue bantu turunkan dari bagasi. Dan meninggalkan gue yang berdiri mematung melihat punggung ibu paruh baya itu menjauh.
Gue pulang, meninggalkan barang-barang gue yang masih tergeletak di kamar mas Edith. Cuma dompet dan handphone yang gue bawa tadi.
Gue langsung lari dan masuk ke kamar mas Orlando waktu sampe di rumah, memeluk mas Orlando yang masih tidur dari belakang. Gue nangis sejadi-jadinya, saking perihnya ucapan yang gue denger barusan.
“De?” Mas Orlando kaget, nyoba buat balikin badannya cuma gue tahan. Gue ga mau mas Orlando liat gue nangis lagi.
“De? Kenapa hey?”
“Huaaaaa” bukannya makin tenang, gue malah makin kejer.
Tangan yang berhasil melingkar di perut mas Orlando di usap-usap sama dia selama gue nangis.
Gue inget banget mas pernah bilang kalau dia ga mau ngeliat gue ditangisin cowo, atau sakit hati gara gara cowo, dan gue menyesali keputusan gue buat nangisin mas Edith di depan mas Orlando gini.
“De…,” panggilnya lagi waktu gue udah mulai tenang, “Mas janji ga marah. Tapi tolong jangan bikin mas penasaran gini. Kamu kenapa?”
“Mas… hiks,”
“Apa? Kenapa?”
“Aku… barusan… ketemu… calon istrinya mas Edith. Huaaaa” Tangis gue pecah lagi, masih dengan posisi yang sama.
Kali ini mas Orlando maksa buat balik badannya dan berhasil. Gue nangis di pelukan mas Orlando, sambil di elus-elus kepala baguan belakang gue.
“Ter…rus… i…bunya… bil…a…ng ma…s edi…th… jadi… ngel…a…wan… gar…a gara… a…ku…”
Ga ada jawaban apa apa dari mas Orlando selain elusan hangat di kepala gue. Gue lanjut nangis sambil sesegukan. Gue nangis sampe ketiduran di kasur mas Orlando.