sunonthecheek

Sydney

Gue, Irene dan Gia langsung tatap-tatapan waktu ngerasa kalau lelaki asing yang Gia sebut barusan mulai beranjak dan jalan ke meja kita. Dan bener aja, dalam hitungan sepersekian detik, lelaki itu sudah berdiri mantap di meja kita.

“Hi, sorry. Gue boleh join?” Katanya sambil nunjuk kursi kosong yang tepat berada di depan gue.

“Orang Indo?” Tanya Gia spontan.

“Ah, iya. Gue orang Indo. Ga sengaja denger kalian ngobrol tadi pake Indo, so i guess I’m allowed to join in…” Katanya dengan pd nya, “…or not.” Lanjutnya.

“Boleh aja sih,” ini gue yang jawab. Soalnya kasian dia berdiri terus.

Dia duduk tepat di samping Gia dan berhadapan langsung dengan gue,

“Arleo, panggil aja Leo,” katanya sambil ngasih tangannya ke gue,

“Sydney.”

“Wow, nice name.” Jawabnya, bikin gue cuma nyengir canggung.

“Leo,”

“Irene,”

“Leo,”

“Gia.”

Dia ngangguk abis itu.

“Eh tapi Sorry banget kalau bikin kalian jadi canggung. Kebetulan gue sendirian dan gue denger bahasa yang ga asing di telibga jadi gue sok sokan join aja sih,”

“Gapapa kok,” Giliran Irene yang jawab. “Lo liburan? Kerja?”

“Gue kerja. Kalian?”

“Kita liburan, liburan patah hati,” jawab Gia yang bikin gue langsung melotot ke dia.

Leo ketawa, mungkin kaget sama ke-oversharing-an Gia yang tiba-tiba.

Makan malam yang tadinya cuma bertiga jadi lanjut jadi ber empat. Leo seseru itu. Dia cerita kalau dia pilot dan abis bawa flight pagi tadi ke Singapore dari Jakarta. Terus besok dia harus flight balik ke Jakarta sedangkan kita stay satu hari lagi.

Leo juga jadi tau (gara-gara Gia) kalau liburan patah hati ini buat gue. Gue ga mau cerita tapi Gia cerita serasa sama temen lama.

“So, lo patah hati abis putus, apa gimana?”

“Mau ditinggal kawin,” saut Gia.

“Serius?”

“Gi, please bisa gak jangan diceritin sedetail ituuuuu…” Mungkin kalau Gia duduk di samping gue, gue udah cubit dia.

“Yailah. Belum tentu ketemu lagi di Jakarta ga sih?”

“Mungkin. Tapi kalau mau ketemu lagi, boleh?” Pertanyaan ini ditujukan ke gue, karena dia nanya sambil natap gue. Dia senyum, terus masang muka puppy sambil nunggu jawab gue.

“Eh? Hmm.. yaa boleh aja sih.” Jawab gue yang semakin canggung itu, terus dia senyum lagi.

Dari senyumnya, Leo nunjukin kalau dia juga punya lesung pipi kaya mas Edith, cuma punya mas Edith lebih dalam.

Gak lama dia kasih handphonenya ke gue, terus gue cuma ngangkat dua alis gue karena gue bingung.

“Katanya boleh ketemu lagi. Gue minta nomer kalian. Biar bisa janjian.”

Waktu gue ngelirik ke Gia, Gia cuma ngangguk-ngangguk kenceng terus gue nurut buat pencet nomer gue di handphonenya.

“Simpen ya, Leo.” Katanya setelah berhasil missed call gue. Setelah itu gantian dia minta nomere Irene sama Gia.


Obrolan kita di taksi gak jauh-jauh dari gimana kerennya Leo waktu nyamperin kita, dan berakhir bayar bill makanan kita. Dan kita janji buat gantian bayarin bill makan Leo di Jakarta.

“Sumpah yakin banget dia naksir sama lo,”

“Gila kali Gi. Mana ada naksir baru ketemu gitu.”

“Ya emang gila. Lo contohnya. Baru ketemu sekali langsung jatuh cinta sama si mas Edith,”

Diingetin lagi. Mas Edith lagi.

Gue cuma ketawa miris. Bener sih, gue udah tergila-gila sama mas Edith dipertemuan pertama kita. Tapi, siapa coba yang ga tergila-gila sama dia.

Sydney

ting… nong…

Gue kebangun gara-gara suara bel di pintu apartemen mas Edith. Waktu bangun gue cek handphone buat liat jam, dan ternyata udah jam sepuluh pagi.

ting… nong…

Gue sedikit baca chat mas Edith dari halaman notifikasi, mas Edith bilan dia udah berangkat dari Bandung, sekitar satu jam yang lalu.

Bentar, mas Edith secepat itu perjalanannya jam segini udah sampe Jakarta?

Gue melangkah malas kelur kamar, menarik tubuh gue yang masih setengah sadar ini. Kalaupun itu mas Edith, kenapa ga langsung masuk aja? Kenapa harus pencet bel? Ini kan rumahnya dia?

Ceklek

Hoam… Ma—,” ucapan gue terputus waktu mendapati bukan mas Edith yang berdiri di depan rumah. Gue melotot kaget.

Ada tiga orang wanita, dua paruh baya dan satu masih muda sedang berdiri kebingungan di depan pintu apartemen mas Edith. Gue yang setengah sadar ini langsung melek waktu mendapati ternyata bukan mas Edith yang pencet bel.

Eee… cari siapa, bu?” Tanya gue sedikit hati-hati.

“Mas Edith. Ini apartemennya mas Edith bukan ya? Bener kok unitnya 143.” Jawab si perempuan muda yang umurnya sekitar 20 tahunan itu.

“Mas Edith?”

“Iya. Bener bukan yo ini rumahnya Edith? Aku dikasi alamate iki kok,” jawab si ibu paruh baya yang berdiri tepat di hadapan gue.

“Bener, bu. Ini rumah mas Edith.” Jawab gue sepelan mungkin.

Bukannya menampakan wajah bahagia karena berhasil sampai di rumah yang mereka cari, ketiga wanita yang berdiri di depan gue malah masang wajah masam. Mereka pun ngeliat gue dari kaki sampe kepala balik lagi ke kaki.

“Edithnya mana?”

“Oh. Mas Edith masih perjalanan dari Bandung. Masuk dulu bu, Silakan.” Gue mencoba masih bersikap ramah ke mereka yang bahkan gue tidak tau mereka siapa. Tapi dari logatnya, gue yakin kalau mereka kerabat dekat mas Edith dari Jogja.

Gue yang masih pakai piama buru-buru masuk kamar buat ganti baju setelah berhasil nyuruh mereka duduk di ruang tv. Gue juga lanjut cuci muka dan sikat gigi karena gue bener-bener baru bangun.

Waktu sambil cuci muka, gue nyoba telepon mas Edith dan ga diangkat sama sekali. Mungkin mas Edith udah di tol, dan mas Edith bukan tipe yang main handphone kalau lagi nyetir.

“Diminum dulu, silakan.” Gue menyiapkan tiga cangkir teh manis hangat buat tamu mas Edith. Agak bingung juga sih ini gue menjamu tamu orang, padahal gue juga tamu di sini.

“Saya ibunya Edith, saya dari Jogja,” ucap ibu paruh baya itu setelah minum teh hangat buatan gue,

“Kamu siapanya mas Edith?” Tanya si perempuan muda dengan ketusnya, “Kok bisa tidur di rumah mas Edith? Kalian serumah?”

“Eh e—enggak. Kita ga serumah. Kebetulan hmm…” Gue mikir alasan yang logis, “…internet di rumah mati jadi aku numpang skripsian di rumah mas Edith.” Kata gue canggung.

Gue yakin mereka ga percaya, tapi gue berusaha buat ga ngasih kesan buruk dipertemuan pertama gue sama ibunya mas Edith.

Gue juga langsung chat mas Edith. Gue bilang semuanya dari ibunya dateng sampe alasan yang gue buat barusan.

“Saya boleh liat-liat rumah Edith?” Tanya ibunya mas Edith sedikit lebih ramah dari mbak-mbak muda itu, “Eh yo namamu siapa?”

“Oh, aku Sydney bu.” Jawab gue canggung.

Mereka bertiga keliling rumah mas Edith. Di rumah ini tuh ada 2 kamar, satu kamar utama dan satu kamar tamu. Terus ada dapur kecil, kamar mandi dan ruang tv. Apartemen ga terlalu besar, cocok buat ditinggalin keluarga kecil.

“Kamu udah lama numpang di sini?” Tanya ibunya mas Edith waktu gue nemenin mereka keliling rumah.

Bentar, numpang tuh kesannya gue ga punya rumah gitu ya.

“Ngga. Saya baru semalam kesini. Kebetulan rumah saya ga jauh dari sini.”

“Kenal Edith dari mana?”

“Mas aku temen kuliahnya mas Edith,”

Si ibu ngangguk, beda sama si wanita muda yang dari tadi ngelirik gue judes banget.

”Saya ke Jakarta, karena mau ketemu Edith. Kangen sekali sudah sebulan ga ketemu,” kata ibunya waktu kita semua udah balik duduk di ruang tv.

“Kenalin, saya Bella, calon istrinya mas Edith.”

Jeger, rasanya kaya disamber petir siang bolong. Calon istri? Calon istri mas Edith dari Jogja dateng ke Jakarta? Hah? Apaan sih?

“Sydney,” gue nyoba setenang mungkin buat salaman sama perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Bella ini.

Dan ibu paruh baya satu lagi adalah adiknya ibunya Edith.

“Ibu kalau mau istirahat boleh, di kamar tamu. Silakan,” waktu gue mempersilakan mereka, semua masuk ke kamar tamu buat beres-beres barang. Gue juga langsung lari ke kamar mas Edith buat cek handphone, dan masih nihil jawaban dari mas Edith.

“Sydney…”

“Iya bu…” gue lari nyamperin ke luar kamar waktu denger nama gue di panggil. Terus bener aja si ibu udah berdiri di depan kamarnya mas Edith.

“Sydney, ibu mau masak untuk Edith. Tapi tadi ibu liat kulkasnya Edith kosong. Kalau mau beli sayur di mana ya?”

“Oh. Mau Sydney anterin ke supermarket?”

“Boleh,”

“Yaudah. Sydney ganti baju dulu ya bu,”

Gue masuk lagi setelah dapet anggukan dari beliau. Aduh apa lagi ini gue belanja sama ibunya mas Edith.

Untungnya, semalam gue bawa mobil jadi gue bisa nganter ibunya mas Edith tanpa bingung mau naik apa. Waktu udah hampir jam 11 dan gue belum dapet kabar apa-apa dari mas Edith.

“Sydney, jujur sama saya kamu pacarnya Edith ya?” Tanya ibunya waktu gue dan beliau sudah berduaan di dalam mobil. “Kamu bukan adiknya teman Edith yang tiba-tiba numpang internet di rumah Edith, kan?”

“Hehe, iya bu. Kami dekat.”

Tatapan muka ibunya berubah jadi lebih tegas. Ada raut kekecewaan dari mukanya. Mungkin ibunya kecewa karena anaknya berani mengajak perempuan ke dalam rumah, meskipun gak ada anaknya.

Sepanjang gue nemenin ibunya belanja pun, gue gak diajak ngomong sama sekali. Ibunya sibuk pilih-pilih bahan masakan, dan gue ngikutin di belakang dorong troli.

“Edith ke Jakarta karena ga mau dijodohi,” katanya memecah kesunyian. Kita berdua udah selesai belanja dan udah balik lagi ke mobil.

“Saya ke Jakarta, ajak Bella biar Edith ingat kalau dia punya calon istri di Jogja yang nungguin dia,”

Sumpah, siapa sih yang naro bawang di sini. Kok mata gue perih?

“Saya jadi tau, ternyata kamu yang bikin Edith ga mau dijodohi. Kamu yang bikin Edith melawan saya.”

Deg, gue langsung ngencengin genggaman gue ke setir yang lagi gue pegang, menggigit bibir bawah gue biar tangis gue ga pecah. Gue baru saja dihakimi oleh seorang ibu yang baru gue temui satu jam yang lalu, dan dia bilang kalau anaknya jadi melawan ibunya gara-gara gue.

Gue mencoba tidak menjawab apapun, tangan gue udah gemeteran parah. Jantung gue sakit banget, kayak ada yang nusuk dari segala sisi. Gue baru aja ngerasain bahagia sama mas Edith, masa udah harus dipisahin?.

“Kamu pulang aja. Saya bisa naik sendiri ke atas.” Katanya sambil menarik barang belanjaan yang baru aja gue bantu turunkan dari bagasi. Dan meninggalkan gue yang berdiri mematung melihat punggung ibu paruh baya itu menjauh.

Gue pulang, meninggalkan barang-barang gue yang masih tergeletak di kamar mas Edith. Cuma dompet dan handphone yang gue bawa tadi.


Gue langsung lari dan masuk ke kamar mas Orlando waktu sampe di rumah, memeluk mas Orlando yang masih tidur dari belakang. Gue nangis sejadi-jadinya, saking perihnya ucapan yang gue denger barusan.

“De?” Mas Orlando kaget, nyoba buat balikin badannya cuma gue tahan. Gue ga mau mas Orlando liat gue nangis lagi.

“De? Kenapa hey?”

Huaaaaa” bukannya makin tenang, gue malah makin kejer.

Tangan yang berhasil melingkar di perut mas Orlando di usap-usap sama dia selama gue nangis.

Gue inget banget mas pernah bilang kalau dia ga mau ngeliat gue ditangisin cowo, atau sakit hati gara gara cowo, dan gue menyesali keputusan gue buat nangisin mas Edith di depan mas Orlando gini.

“De…,” panggilnya lagi waktu gue udah mulai tenang, “Mas janji ga marah. Tapi tolong jangan bikin mas penasaran gini. Kamu kenapa?”

“Mas… hiks,”

“Apa? Kenapa?”

“Aku… barusan… ketemu… calon istrinya mas Edith. Huaaaa” Tangis gue pecah lagi, masih dengan posisi yang sama.

Kali ini mas Orlando maksa buat balik badannya dan berhasil. Gue nangis di pelukan mas Orlando, sambil di elus-elus kepala baguan belakang gue.

“Ter…rus… i…bunya… bil…a…ng ma…s edi…th… jadi… ngel…a…wan… gar…a gara… a…ku…”

Ga ada jawaban apa apa dari mas Orlando selain elusan hangat di kepala gue. Gue lanjut nangis sambil sesegukan. Gue nangis sampe ketiduran di kasur mas Orlando.

“Ketemu siapa?” Tanya mas Orlando yang sudah berdiri di depan pintu, menunggu gue jalan mendekat.

“Mas Edith,” jawab gue malas.

“Edith? Ngapain pagi-pagi?”

Gue muter otak buat ngasih jawaban ke mas Orlando. Hhhhh, bohong lagi.

“Ngambil kunci apart. Mas Edith mau ke Bandung,” jawab gue bohong sambil ngelewatin mas Orlando yang nutupin pintu itu.

“Kamu ada apa sama Edith?” Pertanyaan mas Orlando berhasil bikin gue berhenti jalan. Dengan posisi gue yang munggungin mas Orlando, gue berasa banget kalau ada sorot mata tajam di belakang.

“Ga ada apa-apa,”

“Ga usah bohong,”

“Kalau ada apa-apa, kenapa?” Kali ini gue beranikan diri buat balik badan terus natap mas Orlando.

Bukannya jawab, mas Orlando malah narik gue ke pelukannya.

“Mas kenapa sih?” Gue berusaha buat ngedorong mas Orlando ngejauh, tapi badan dia tentuk lebih kuat dari gue.

“Mas ga mau kamu ngerasain sakit hati gara-gara cinta. Mas ga mau kamu ngerasain sakitnya patah hati. Mas ga mau kamu ngerasa kecewa karena laki-laki,”

“Ya terus aku harus jadi perawan tua?”

“Iya. Gapapa. Mas mampu buat ngehidupin kamu.”

Gue cuma bales pake cubitan di perut mas Orlando yang bikin dia mengaduh kesakitan dan ngelepas pelukan gue. Mas Orlando pagi-pagi udah ngaco, terus gue langsung kabur.

“Ade tau kan mas sayang sama ade,”

“Mas bau, mandi dulu” jawab gue teriak sambil lari masuk kamar.

Sydney

Suara mobil bergantian masuk ke garasi malam ini, gue sudah berdiri sama bi Ira di ruang tamu buat nyambut dua orang yang udah dua tahun terakhir ga pernah gue lihat kehadirannya.

“Ade…” ucap papa sambil merentangkan kedua tangannya waktu ngeliat gue, terus gue lari dan meluk papa.

Gak lama mama masuk terus ikut meluk gue dari belakang, dan rasanya gue mau waktu berhenti buat kali ini, ngerasain pelukan terhangat yang gue rindukan selama ini.

“Alah… alah… kok nangis?” Tanya papa sambil menangkup kedua pipi gue. Pipi gue basah, muka gue merah, idung gue meler.

“Ma…” gue gantian peluk mama, terus mama bales pelukan gue.

Sejak kecil gue tidak tumbuh di keluarga yang hangat. Mama papa sibuk kerja, menyisakan gue dan mas Orlando yang tumbuh dirawat sama bi Ira.

“Mama mandi dulu ya?” Ucap mama sambil mengelus belakang kepala gue. Terus gue ngangguk.

Gue menghabiskan waktu duduk di ruang tamu ngobrol berdua sama papa, ditemenin mas Orlando yang lagi sibuk sama iPadnya. Papa tanya semua hal dari mulai kuliah, skripsi sampe pacar,

“Papa mau dikenalin pacar kamu dong, de.” Pertanyaan barusan berhasil bikin mata mas Orlando ngelirik terus mata gue gak sengaja ketemu sama mata dia,

“Hehe. Belum ada pa.” Jawab gue canggung, soalnya dilirik tajem sama mas Orlando.

“Masa?”

Iya soalnya digalakin sama mas Orlando.” kata gue sambil berbisik ke kuping papa.

Terus papa cuma ketawa, menyisakan mas Orlando yang kebingungan sendiri sama rahasia kita berdua.

Sebenernya gue cukup dekat sama papa. Kita sering video call malam-malam kalau papa pulang ngantor. Tapi ga ke mama, gue se jarang itu komunikasi sama mama.

Obrolan kita pindah ke meja makan. Keadaan kita lebih canggung karena udah lama ga makan malem bareng gini,

“Syd, abis kamu lulus ikut mama ke Spore, mau?” Tanya mama di tengah makan kita,

“Ng—”

“Nggak enak aja. Ade di Jakarta.” Saut mas Orlando tiba-tiba.

It’s okay, baby. Mama just ask, ga maksa. Lagian Orlando mana bisa jauh dari kamu ya,” jawab mama dengan nada sarkastik.

Begitulah sifat mama, keras, egois, mengintimidasi tapi pekerja keras. Itu yang bikin mama ngerasa kalau dunia berputar di mama dan semua orang akan tunduk sama mama karena power yang mama punya.

Perusahaan keluarga ini pun sebenernya punya mama, dan papa adalah ‘pembantu’ di perusahaan ini.

“Kamu udah tau kan kalau mama papa akan pisah?”

Gue ngangguk.

“Papa stay di Jakarta, mama stay di Spore. Besok papa mama harus ke pengadilan buat sidang pertama. Malemnya mama harus terbang ke New York,”

“Papa ikut ke New York?”

“Ngga. Papa di Jakarta aja.” Jawab papa santai.

Beda sama mama yang keras, papa tuh lembut banget. Tapi karena tuntutan pekerjaan, bikin papa lupa kalau beliau masih punya anak yang juga butuh kasih sayang.

“Sydney boleh tau kenapa papa mama pisah?” Pertanyaan gue memecah hening di atas meja makan. Terdengar suara tarikan napas berat dari mama maupun papa.

We are not happy anymore. Papa mama udah pisah rumah dari enam bulan yang lalu. Ketemu di kantor pure masalah kerjaan aja. Kalau dipertahanin, kita cuma menyakitkan perasaan satu sama lain dan bikin kerjaan kita ga profesional.”

Kerjaan lagi kerjaan lagi. Kenapa semua hidup kalian harus dikaitin sama kerjaan?

“Kenapa ga bahagia? Bahkan mama papa udah Sydney relain untuk pisah sama Sydney dan tinggal berdua. Seharusnya kalian cuma punya satu sama lain kan?” Suara gue bergetar. Ada tangis yang gue tahan diujung mata. Tangan gue digenggam erat di bawah meja sama mas Orlando.

“Awalnya iya. Tapi ternyata kebahagiaan bukan cuma karena kita ketemu setiap hari. Tapi—” Ucapan mama terpotong karena papa,

“Sydney… ada kalanya papa mama bertengkar, ada kalanya papa mama bahagia karena kita punya satu sama lain. Sejauh ini, mama papa sudah coba lagi untuk menemukan alasan kita untuk bahagia tapi ternyata kami belum bisa ketemu sampai sekarang. Itu artinya, sudah tidak ada.”

“Karena aku pa… ga bisa kalian bertahan karena aku? Ga bisa aku jadi alasan kalian untuk bahagia?” Gue kalah, air mata gue jatuh akhirnya. Tangan gue makin kencengen diremas mas Orlando, gue nunduk kalah.

“Kamu adalah alasan mama dan papa bertahan sampai saat ini. Kamu adalah alasan mama papa bahagia sampai saat ini. Tapi untuk alasan kita mempertahankan ikatan, gak semudah itu. Semua bukan salah kamu, bukan salah Orlando. Ini semua salah papa dan mama yang ga bisa terus menggenggam ikatan kita. Setelah ini, papa mama janji bukan cuma memperbaiki hubungan kita, tapi hubungan papa mama ke kamu dan Orlando perlu diperbaiki juga. Kita tetap keluarga. Kamu tetap anak papa, kamu tetap anak mama. Ya?”

Gue nangis sejadi-jadinya, tentu dipelukan mas Orlando karena cuma mas yang gue punya selama ini.

Apa iya setelah ini hubungan kita lebih baik? Apa iya gue masih dianggap anak setelah mereka pisah? Bahkan sebelumya gue tidak pernah jadi prioritas mereka waktu mereka masih jadi suami istri. Kenapa orang dewasa seegois itu? Kenapa mereka cuma mikirin kebahagiaan mereka tanpa mikirin kebahagiaan gue. Kenapa gue harus mengalah lagi? Sampe kapan gue harus mengalah untuk pencarian kebahagiaan mereka yang ga akan ada ujungnya itu?

“Maafin mama ya, Syd.” Ucap mama di sebrang meja sana yang bikin gue makin kejer nangisnya. Gue ga butuh maaf dari mama dan papa, gue butuh sosok kalian untuk mengisi hidup gue ini.

“Maafin papa juga ya, sayang.”

Makan malam keluarga kali ini ditutup dengan suara tangis gue di atas meja makan. Semuanya diam, ga ada yang berani menginterupsi tangis gue. Punggung gue terus dielus mas Orlando dari belakang, dan membiarkan air mata gue tumpah lagi di pelukannya.

Sydney

Gue sudah keluar dari kantor dan nunggu dipinggir jalan. Julian bilang gak sampe sepuluh menit buat sampe mangkanya gue mutusin buat nunggu di luar aja. Ngehindarin kalau-kalau mas Edith nyamperin gue.

Gak lama gue nunggu, motor gede warna hitam berhenti tepat di depan gue, “Atas nama kak Syndeny?” Katanya sambil buka kaca helm full facenya.

“Julian?”

“Ayo naik.” Katanya sambil ngasih helm ke gue. Keliatan dari matanya kalau dia ngomong sambil senyum.

Gue ngambil helm sambil naik ke motornya. Terus dia langsung ngelajuin motornya tanpa nanya kita mau kemana. Tapi ya bener sih, dia nanya ke gue juga gue ga akan bisa nentuin kita mau kemana.

Perjalanan cukup jauh dari kantor. Jalannya lebih menanjak dan udarannya makin dingin. Kebetulan banget gue pake sweater hari ini yang bikin badan gue gak kedinginan.

“Jul, mau kemana sih?” Tanya gue sambil sedikit berteriak. Terus dia cuma ngangguk. Entah karena ga denger atau sebenernya dia udah jawab tapi gue gak denger.

Kita berhenti di pinggir jalan. Kayaknya ini bukan tempat makan. Jangan tanya gue ini di mana karena gue juga gak tau.

Julian buka helmnya dan,hi. Terpampang wajah dengan garis tajam yang bikin Julian terlihat tampan. Tapi bentar, tetep gantengan mas Edith. Hehe.

“Woy,” Katanya sambil ngelambaiin tangannya ke gue, “Terpesona lo ngeliat gue?”

Terus gue cuma masang muka males ke dia.

Julian jalan duluan buat masuk ke depan kasir di pintu masuk. Terus dia kayak nunjukin tiket di handphonenya.

“Ayo,” ajak Julian setelah Julian selesai berurusan sama si mbak kasir.

Gue ngebuntutin Julian buat masuk ke sebuah pameran yang berisikan batu-batuan. Suasananya tenang banget. Gue sampe silent handphone karena gue gak mau keganggu sama suara-suara di handphone gue.

“Lo lagi mumet kan?”

Gue ngangguk.

Terima kasih untuk kebaikan hati Julian hari ini, gue ngerasa selepas itu selama di dalem sini. Rasanya kaya ada sihir yang bikin gue tenang.

Tempatnya gak luas, malah bisa terbilang kecil buat sebuah pameran. Isinya juga ga macem-macem, cuma batu, pohon dan air. Tapi dari setiap elemen itulah gue menemukan sebuah ketenangan.

“Gue kalau mumet suka kesini, duduk aja di pinggir danau. Bengong ngeliatin air sama jurang.”

“Lo ga kepikiran buat loncat kan?”

“Hahaha,” Julian ketawa tapi ga kenceng, “Hampir. Tapi gak di sini juga lah.”

Gue ngangguk. Kayaknya gue belum pantes buat nanya lebih jauh lagi. Ini pertemuan pertama kita. Kalau gue nanya yang macem-macem udah dipastiin gue akan dicap kepo sama Julian.

Gue menghabiskan waktu satu jam di sini. Bener-bener cuma menikmati kesunyian, dan terakhir duduk di pojokan sambil minum segelas teh rosella hangat yang disediain di sana.

“Bener kata nyokap gue,”

“Apa?”

“Lo cantik…”

“Ck ga usah ngerusak suasana deh Jul,”

“Gue cuma bilang kata nyokap gue lo cantik, ga ada gue ngomong apa-apa lagi.”

nyenyenyenye

“Tapi sayang…” dia diem sebentar, “Pacarnya galak.”

Gue nahan ketawa di ujung cerita dia. Bener, pasti mas Edith kesel setengah mati waktu tau gue gak ada di kantor dan malah milih pergi sama Julian.

“Balik gak?” Tanya Julian setelah menenggak habis tehnya. Kalau teh gue udah abis duluan dari tadi.

“Pulangin gue deh. Gue takut dicariin.”

Terus dia ngangguk paham.

“Siapa?” Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut mas Edith waktu dia masuk ke mobil. Gue sengaja nunggu mas Edith meeting di mobil karena gue ga kenal siapa-siapa di dalem kantor.

“Hah?” Tanya gue balik sembari mengunci handphone gue.

“Kamu chat sama siapa? Seru banget sampe ketawa-tawa sendiri.”

“Julian…” gue langsung nengok buat ngebaca ekspresi muka mas Edith “…kenapa?” Lanjut gue.

Dia geleng.

Kita makan di salah satu tempat makan bakso cuangki dan batagor terkenal di Bandung. Tempatnya rame sampe ngantri. Apalagi ini jam makan siang.

Gue duduk, nunggu mas Edith pesen.

Kita makan sambil ngobrolin tentang sample sample yang udah gue ambil. Mas Edith juga bilang selama ini dia selalu makan siang sendiri meskipun suka diajak makan siang bareng.

“Syd, kayaknya saya mau ke Jakarta lusa. Mau ada meeting sama pemegang saham,”

Bentar, pemegang saham? Sama emak bapak gue dong.

“Sama papa mama aku?”

“Mungkin. Aku baru diundang lewat telepon tadi sama staf ku di Jakarta. Orlando ga bilang?”

“Belum.”

Rasanya tuh kaya, nyess gitu. Gue yakin banget papa mama dateng kalau lagi rapat pemegang saham kaya gini. Tapi seenggak mau itu kah ketemu gue sampe mereka pulang dan ga mau bilang. Mas Orlando juga ga cerita apa-apa tentang kepulangan orang tua gue. Ada apa sih? Apa yang mereka sembunyiin sejak keluarnya gue dari grup keluarga?

Sydney

Ritme kerja jantung gue udah ga karuan sejak gue memutuskan untuk tidur sekamar sama laki-laki satu ini. Saat ini gue udah dalam posisi berbaring, sambil berhadap-hadapan sama lelaki yang beberapa minggu terakhir ini berhasil mengacak-ngacak fokus gue sama the one and only skripsi. Yap bener, gue yang semangat banget ngerjain skripsi mendadak jadi males karena punya fokus baru, mas Edith.

Tangan kirinya jadi tumpuan kepala gue, dan tangan kanannya lagi nepuk-nepuk pelan lengan gue. Matanya merem, tapi bibirnya senyum.

Gue yang tentu ga bisa tidur jadi mandangin mas Edith dalam posisi tidurnya. Nahan semua gejolak di dalam diri buat nyentuh seujung kulit wajahnya.

“Tidur, Sydney. Kamu ga cape apa?” Tepukannya berubah jadi elusan pelan, dan berubah jadi tepukan lagi kurang dari sepuluh detik.

“Mas…”

“Hm?” Dia jawab, masih merem.

“Tangannya mas ga pegel besok?”

“Nggak”

“Aku ga nyaman,” bohong banget. Gue bilang ga nyaman biar bisa lepas tiduran di atas tangannya mas Edith. Kasian besok pagi pastipegel.

Bukannya di lepas, mas Edith malah narik tubuh gue dan ngubah posisi kita jadi pelukan,

“Udah, tidur yuk.” Katanya.

Gue? Sudah melebur jadi satu sama kasur. Takut banget detak jantung gue yang berantakan ini kedengeran sama mas Edith.

Sydney

Hening dan canggung adalah suasana di dalam mobil saat ini. Mas Edith lebih banyak main sama handphonenya sedangkan gue nyari kesibukan dengan fokus nyetir sambil natap gedung-gedung di sepanjang jalan.

“Maaf ya de’, aku tadi di chat pegawaiku di Jogja” katanya sambil mengunci layar handphonenya. Gue cuma ngelirik, terus ngangguk.

Suaranya mas Edith tuh deep, lembut, gak terlalu ngebass dan masih dibumbui logat medhoknya. Gue yang pura-pura fokus sambil nyetir sempet sedikit kaget waktu akhirnya mas Edith buka suara barusan.

“Kamu marah ya sama saya, de’?” Denger suaranya bener-bener bisa bikin gue meleleh di tempat.

“Ng—gak kok,”

“Kok diem aja?”

Ya terus gue harus nge reog di depan orang yang barusan bilang jatuh cinta sama gue gitu?

“Gapapa. Laper.” Boong, kita baru selesai makan kurang dari dua jam yang lalu, “Mas manggilnya Syd atau Sydney aja. Ga usah dek, gapapa.” Lanjut gue.

“Udah sampe mana skripsinya, Syd?” Mas Edith…… bisa ga diketik aja pertanyaannya. Gue udah bener-bener dititik di mana gue bisa tiba-tiba melebur jadi satu sama karpet mobil.

“Hm… minggu depan udah dapet jadwal sempro sih.”

“Oya? Waduh semangat ya,”

“I—ya mas.”

Gue dan mas Edith udah sampe di starbucks yang jadi langganan gue beberapa bulan terakhir. Sebenernya bisa aja sih gue ngerjain di rumah, tapi gue ga suka sendirian. Bukan takut, tapi lebih ke ‘iseng’. Udah gitu kalau ngerjain di sini gue bisa jajan, sambil minum sambil ngemil. Win win solution, bukan?

“Mau minum apa, Mas?”

“Samain aja sama kamu.” Gue ngangguk.

“Lit, latte 2 ya,” ucap gue ke Lita, pegawai kasir yang tentu sudah kenal gue.

“Tumben kak,” jawab Lita sambil ngasih muka ngeledek, gak lupa dia naik-naikin kedua alisnya.

Saking seringnya gue kesini, semua barista kenal sama gue, bahkan yang udah resign dan baru masuk juga kenal.

Ssst” jawab gue melotot sambil ngasih kartu gue ke Lita.

“Mas duduk aja,”

“Kamu aja yang duduk, nanti saya yang ambil,”

“Mas aja yang duduk,” kata gue sambil sedikit ngedorong mas Edith yang dari tadi ngintilin di belakang gue. Terus dia ngalah dan akhirnya meninggalkan gue di pick up counter.

“Kak…… lo bawa siapa anjir,” sekarang giliran Cilla yang masang muka ngeledek, sambil ngasih minuman gue yang udah jadi.

“Temennya mas gue,” gue ngambil dua minuman yang udah jadi itu, “Thanks Cil.” Dan gue berlalu ninggalin Cilla yang belum puas sama jawaban gue barusan.

Rencana ngerjain skripsi berubah jadi sesi tanya jawab gue dan mas Edith. Kalau kaya gini, harusnya di rumah aja ga sih?

Tapi gue yang kepalang salting berusaha ‘kabur’ dan berakhir diintilin sama ini malaikat berwujud manusia.

“Mas kenapa deh mau kerja sama Mas Orlando?” kondisi gue mulai lebih santai dan nyaman setelah kita saling lempar pertanyan receh sebelumnya.

“Ya, tadi kan saya udah kasih tau di chat alasannya,”

Gue memutar bola mata malas, gombal bener.

“Serius ish,”

“Ya salah satunya gara-gara kamu. Tapi alasan lain ya karena Orlando minta. Udah lama tapi saya tolak terus. Akhirnya saya bilang ke ibu dan ibu saya tiba-tiba setuju. Padahal sebelumnya kalau saya izin, ibu ngelarang,”

Fix diusir lu mas,” kata gue sambil ketawa bercanda.

“Hahaha. Iya kayaknya ibu udah bosen ketemu saya tiap hari, Syd”

Gak berasa udah jam delapan dan mas Orlando udah ngechat bilang kalau dia udah sampe apartemen.

“Saya aja yang bawa, Syd” katanya sambil minta kunci mobil ke gue.

“Eh, emang tau jalan?”

“Tau, tadi saya hapalin dikit. Kalau ga tau nanti kamu kasih tau kan.”

Gue ngangguk dan berakhir disetirin mas Edith.

Gue yang duduk di kursi penumpang, bener-bener ga bisa nahan buat ga ngelirik ke mas Edith yang dengan sexynya nyetir pake satu tangan di samping gue. Tapi abis ngelirik bentar, buru-buru gue alihin lagi pandangannya.

“Jangan diliatin mulu, saya deg-degan Sydney”

“SIAPA YANG NGELIATIN!” Jawab gue sedikit teriak yang bikin dia ketawa kenceng banget.

Sydney

“Ada yang ketinggalan ga?” Tanya mas Edith waktu gue sedang menarik seat belt, pertanyaan barusan bikin gue menghentikan kegiatan gue dan mikir bentar,

“Ngga ada” terus gue lanjut narik dan kunci seat beltnya.

Sepanjang jalan, tangan gue gak bisa lepas dari genggaman mas Edith, entah dicium, ditaro di paha, di dada, sampe pegang setir aja tangan gue dia genggam.

“Mas aku ga kemana mana ga usah dipegangin terus,” kata gue karena gue mulai risih liat mas Edith kerepotan sendiri nyetir sambil megang tangan gue.

“Gak mau, takut kamu kabur.” Katanya singkat.

Ke Bandung kali ini naik mobil gue, karena kalau naik mobil mas Edith kegedean takut gue ga bisa nyetirnya di Bandung. Rencana mas Edith pulang naik bis dari Bandung kemarin gak jadi karena katanya ada mobil kantor yang nganggur di Bandung, jadi bisa dipake kalau mau kemana-mana. Toh nantinya mas Edith stay di kantor dan gue yang sibuk bulak balik sendiri.

“Mas…”

“Hm…” jawabnya setelah mas Edith berhasil markirin mobil di parkiran apartemen. Dia nengok sambil ngangkat kedua alisnya.

“Hmmm, mas beneran mau tidur di kantor aja?”

“Iya gapapa. Kenapa?”

Gue menggantung jawaban gue sampe kita berdua udah berdiri di depan kamar,

“Ini access cardnya. Cuma satu kata ibunya. Terus ini pake kunci jadi hati-hati kuncinya ilang,” ucap mas Edith sambil buka kunci apartemen.

Terpampang rapih kamar dengan design simple di hadapan gue. Kamarnya suma sekotak kecil, ada kamar mandi dan dapur kecil di samping kamar mandi. Setelah itu langsung kasur dan ada meja kecil sama lemari kecil dekat jendela.

Jelas aja kamarnya rapih meski udah ditempatin mas Edith selama dua hari, soalnya mas Edith emang serapih itu orangnya. Rumahnya mas Edith aja rapiiiiih banget, beda banget lah sama kamar gue.

“Saya jadi bisa masak Sydney gara-gara pernah diajarin kamu masak pake kompor listrik,” katanya sambil nujukin kompor listrik kecil yang ada di dapur.

“Masak apa?”

“Masak Indomie, hehe.”

Canggung. Gak tau kenapa hawanya canggung banget berduaan sama mas Edith gini.

“Ayo udah malem,” ajaknya. Tadi dia minta tolong buat anterin ke kantor soalnya mobil gue yang pake besok pagi.

“Hm, mas…” tarik gue di ujung kaosnya,

“Apa?”

“Mas ga mau tidur di sini aja?”

Terus dia ketawa sambil ngambil tangan gue yang masih megangin ujung bajunya itu.

“Saya nungguin dari tadi, Sydney.”

Edith

Tepat di pukul sembilan lewat tiga puluh menit, aku markirin mobil di parkiran apartemen, nenteng tas ransel berisi baju kotor dan kantong kresek berisi sarapan menuju lantai empat belas.

Hal pertama yang aku lakuin waktu sampai di lantai kamarku ini adalah masuk ke kamar buat naro ransel, terus lanjut keluar rumah sambil bawa kresek berisi sarapan tadi.

ting… nong… nggak ada jawaban.

ting… nong… masih nggak ada jawaban.

nit… nit… nit… nit… nit… nit… aku nyoba neken angka dua, delapan, satu, satu, sembilan, delapan dari papan pintu rumah Orlando. Lampu indikator berwarna hijau, yang artinya password yang aku masukin bener.

Aku masuk dengan langkah sepelan mungkin, takut takut ngagetin penghuni rumah dan ngira aku maling. Tapi semakin dalam aku masuk, semakin aku nggak menemukan tanda-tanda kehidupan di sini. Entah semua penghuni masih tidur, atau udah pergi.

Aku buka perlahan pintu bercat putih, dan menampakan suasana kamar yang masih gelap tertutup gorden.

Ada sosok wanita yang masih tertidur pulas, posisinya ngehadap pintu dengan selimut yang hanpir nutupin seluruh tubuhnya.

Pelan, aku coba duduk di sampingnya, sebisa mungkin nggak ngebangunin dia.

Rasanya kangenku langsung runtuh waktu ketemu Sydney. Sydney dalam keadaan tidur begini cantiknya naik berkali-kali lipat. Syd, rasanya saya mau punya pemandangan kaya gini tiap hari.

Belum ada pergerakan dari Sydney selama aku mainin rambutnya. Bubur yang aku beli untuk sarapan kita kayaknya juga udah dingin.

Hmmmh,

“Syd?”

“Mas Edith?” Suaranya serak, khas orang bangun tidur.

“Iya, ini saya,”

“Udah sampe mas?” Matanya disipitin, mastiin kalau aku yang beneran dia ajak ngobrol.

“Iya. Tidur lagi sana.”

Dia geleng.

“Mas…” dia mukul-mukul sisi kasurnya yang kosong, masih dalam keadaan setengah sadar.

Aku yang sebenernya clueless nurutin kemauan Sydney terus ikut tiduran di samping dia. Bedanya dia masih di balik selimut kalau aku nggak.

Deg.

Jantungku deg-degan parah, dengan satu tarikan Sydney sudah berhasil bersandar nyaman di pelukanku. Aku yang gak tau harus ngapain cuma diem pasrah, dan yang bikin aku deg-degan dengan nyamannya ngelanjutin tidurnya.

“Sydney, sarapan dulu ga?”

Dia geleng.

“Saya ga liat Orlando. Orlando mana?”

“Ga pulang.”

Aku berakhir ikut ketiduran sambil meluk Sydney dan kita baru bangun sekitar jam dua siang.