207
Sydney
Ritme kerja jantung gue udah ga karuan sejak gue memutuskan untuk tidur sekamar sama laki-laki satu ini. Saat ini gue udah dalam posisi berbaring, sambil berhadap-hadapan sama lelaki yang beberapa minggu terakhir ini berhasil mengacak-ngacak fokus gue sama the one and only skripsi. Yap bener, gue yang semangat banget ngerjain skripsi mendadak jadi males karena punya fokus baru, mas Edith.
Tangan kirinya jadi tumpuan kepala gue, dan tangan kanannya lagi nepuk-nepuk pelan lengan gue. Matanya merem, tapi bibirnya senyum.
Gue yang tentu ga bisa tidur jadi mandangin mas Edith dalam posisi tidurnya. Nahan semua gejolak di dalam diri buat nyentuh seujung kulit wajahnya.
“Tidur, Sydney. Kamu ga cape apa?” Tepukannya berubah jadi elusan pelan, dan berubah jadi tepukan lagi kurang dari sepuluh detik.
“Mas…”
“Hm?” Dia jawab, masih merem.
“Tangannya mas ga pegel besok?”
“Nggak”
“Aku ga nyaman,” bohong banget. Gue bilang ga nyaman biar bisa lepas tiduran di atas tangannya mas Edith. Kasian besok pagi pastipegel.
Bukannya di lepas, mas Edith malah narik tubuh gue dan ngubah posisi kita jadi pelukan,
“Udah, tidur yuk.” Katanya.
Gue? Sudah melebur jadi satu sama kasur. Takut banget detak jantung gue yang berantakan ini kedengeran sama mas Edith.