242.

Sydney

Suara mobil bergantian masuk ke garasi malam ini, gue sudah berdiri sama bi Ira di ruang tamu buat nyambut dua orang yang udah dua tahun terakhir ga pernah gue lihat kehadirannya.

“Ade…” ucap papa sambil merentangkan kedua tangannya waktu ngeliat gue, terus gue lari dan meluk papa.

Gak lama mama masuk terus ikut meluk gue dari belakang, dan rasanya gue mau waktu berhenti buat kali ini, ngerasain pelukan terhangat yang gue rindukan selama ini.

“Alah… alah… kok nangis?” Tanya papa sambil menangkup kedua pipi gue. Pipi gue basah, muka gue merah, idung gue meler.

“Ma…” gue gantian peluk mama, terus mama bales pelukan gue.

Sejak kecil gue tidak tumbuh di keluarga yang hangat. Mama papa sibuk kerja, menyisakan gue dan mas Orlando yang tumbuh dirawat sama bi Ira.

“Mama mandi dulu ya?” Ucap mama sambil mengelus belakang kepala gue. Terus gue ngangguk.

Gue menghabiskan waktu duduk di ruang tamu ngobrol berdua sama papa, ditemenin mas Orlando yang lagi sibuk sama iPadnya. Papa tanya semua hal dari mulai kuliah, skripsi sampe pacar,

“Papa mau dikenalin pacar kamu dong, de.” Pertanyaan barusan berhasil bikin mata mas Orlando ngelirik terus mata gue gak sengaja ketemu sama mata dia,

“Hehe. Belum ada pa.” Jawab gue canggung, soalnya dilirik tajem sama mas Orlando.

“Masa?”

Iya soalnya digalakin sama mas Orlando.” kata gue sambil berbisik ke kuping papa.

Terus papa cuma ketawa, menyisakan mas Orlando yang kebingungan sendiri sama rahasia kita berdua.

Sebenernya gue cukup dekat sama papa. Kita sering video call malam-malam kalau papa pulang ngantor. Tapi ga ke mama, gue se jarang itu komunikasi sama mama.

Obrolan kita pindah ke meja makan. Keadaan kita lebih canggung karena udah lama ga makan malem bareng gini,

“Syd, abis kamu lulus ikut mama ke Spore, mau?” Tanya mama di tengah makan kita,

“Ng—”

“Nggak enak aja. Ade di Jakarta.” Saut mas Orlando tiba-tiba.

It’s okay, baby. Mama just ask, ga maksa. Lagian Orlando mana bisa jauh dari kamu ya,” jawab mama dengan nada sarkastik.

Begitulah sifat mama, keras, egois, mengintimidasi tapi pekerja keras. Itu yang bikin mama ngerasa kalau dunia berputar di mama dan semua orang akan tunduk sama mama karena power yang mama punya.

Perusahaan keluarga ini pun sebenernya punya mama, dan papa adalah ‘pembantu’ di perusahaan ini.

“Kamu udah tau kan kalau mama papa akan pisah?”

Gue ngangguk.

“Papa stay di Jakarta, mama stay di Spore. Besok papa mama harus ke pengadilan buat sidang pertama. Malemnya mama harus terbang ke New York,”

“Papa ikut ke New York?”

“Ngga. Papa di Jakarta aja.” Jawab papa santai.

Beda sama mama yang keras, papa tuh lembut banget. Tapi karena tuntutan pekerjaan, bikin papa lupa kalau beliau masih punya anak yang juga butuh kasih sayang.

“Sydney boleh tau kenapa papa mama pisah?” Pertanyaan gue memecah hening di atas meja makan. Terdengar suara tarikan napas berat dari mama maupun papa.

We are not happy anymore. Papa mama udah pisah rumah dari enam bulan yang lalu. Ketemu di kantor pure masalah kerjaan aja. Kalau dipertahanin, kita cuma menyakitkan perasaan satu sama lain dan bikin kerjaan kita ga profesional.”

Kerjaan lagi kerjaan lagi. Kenapa semua hidup kalian harus dikaitin sama kerjaan?

“Kenapa ga bahagia? Bahkan mama papa udah Sydney relain untuk pisah sama Sydney dan tinggal berdua. Seharusnya kalian cuma punya satu sama lain kan?” Suara gue bergetar. Ada tangis yang gue tahan diujung mata. Tangan gue digenggam erat di bawah meja sama mas Orlando.

“Awalnya iya. Tapi ternyata kebahagiaan bukan cuma karena kita ketemu setiap hari. Tapi—” Ucapan mama terpotong karena papa,

“Sydney… ada kalanya papa mama bertengkar, ada kalanya papa mama bahagia karena kita punya satu sama lain. Sejauh ini, mama papa sudah coba lagi untuk menemukan alasan kita untuk bahagia tapi ternyata kami belum bisa ketemu sampai sekarang. Itu artinya, sudah tidak ada.”

“Karena aku pa… ga bisa kalian bertahan karena aku? Ga bisa aku jadi alasan kalian untuk bahagia?” Gue kalah, air mata gue jatuh akhirnya. Tangan gue makin kencengen diremas mas Orlando, gue nunduk kalah.

“Kamu adalah alasan mama dan papa bertahan sampai saat ini. Kamu adalah alasan mama papa bahagia sampai saat ini. Tapi untuk alasan kita mempertahankan ikatan, gak semudah itu. Semua bukan salah kamu, bukan salah Orlando. Ini semua salah papa dan mama yang ga bisa terus menggenggam ikatan kita. Setelah ini, papa mama janji bukan cuma memperbaiki hubungan kita, tapi hubungan papa mama ke kamu dan Orlando perlu diperbaiki juga. Kita tetap keluarga. Kamu tetap anak papa, kamu tetap anak mama. Ya?”

Gue nangis sejadi-jadinya, tentu dipelukan mas Orlando karena cuma mas yang gue punya selama ini.

Apa iya setelah ini hubungan kita lebih baik? Apa iya gue masih dianggap anak setelah mereka pisah? Bahkan sebelumya gue tidak pernah jadi prioritas mereka waktu mereka masih jadi suami istri. Kenapa orang dewasa seegois itu? Kenapa mereka cuma mikirin kebahagiaan mereka tanpa mikirin kebahagiaan gue. Kenapa gue harus mengalah lagi? Sampe kapan gue harus mengalah untuk pencarian kebahagiaan mereka yang ga akan ada ujungnya itu?

“Maafin mama ya, Syd.” Ucap mama di sebrang meja sana yang bikin gue makin kejer nangisnya. Gue ga butuh maaf dari mama dan papa, gue butuh sosok kalian untuk mengisi hidup gue ini.

“Maafin papa juga ya, sayang.”

Makan malam keluarga kali ini ditutup dengan suara tangis gue di atas meja makan. Semuanya diam, ga ada yang berani menginterupsi tangis gue. Punggung gue terus dielus mas Orlando dari belakang, dan membiarkan air mata gue tumpah lagi di pelukannya.