294.

Sydney

Gue, Irene dan Gia langsung tatap-tatapan waktu ngerasa kalau lelaki asing yang Gia sebut barusan mulai beranjak dan jalan ke meja kita. Dan bener aja, dalam hitungan sepersekian detik, lelaki itu sudah berdiri mantap di meja kita.

“Hi, sorry. Gue boleh join?” Katanya sambil nunjuk kursi kosong yang tepat berada di depan gue.

“Orang Indo?” Tanya Gia spontan.

“Ah, iya. Gue orang Indo. Ga sengaja denger kalian ngobrol tadi pake Indo, so i guess I’m allowed to join in…” Katanya dengan pd nya, “…or not.” Lanjutnya.

“Boleh aja sih,” ini gue yang jawab. Soalnya kasian dia berdiri terus.

Dia duduk tepat di samping Gia dan berhadapan langsung dengan gue,

“Arleo, panggil aja Leo,” katanya sambil ngasih tangannya ke gue,

“Sydney.”

“Wow, nice name.” Jawabnya, bikin gue cuma nyengir canggung.

“Leo,”

“Irene,”

“Leo,”

“Gia.”

Dia ngangguk abis itu.

“Eh tapi Sorry banget kalau bikin kalian jadi canggung. Kebetulan gue sendirian dan gue denger bahasa yang ga asing di telibga jadi gue sok sokan join aja sih,”

“Gapapa kok,” Giliran Irene yang jawab. “Lo liburan? Kerja?”

“Gue kerja. Kalian?”

“Kita liburan, liburan patah hati,” jawab Gia yang bikin gue langsung melotot ke dia.

Leo ketawa, mungkin kaget sama ke-oversharing-an Gia yang tiba-tiba.

Makan malam yang tadinya cuma bertiga jadi lanjut jadi ber empat. Leo seseru itu. Dia cerita kalau dia pilot dan abis bawa flight pagi tadi ke Singapore dari Jakarta. Terus besok dia harus flight balik ke Jakarta sedangkan kita stay satu hari lagi.

Leo juga jadi tau (gara-gara Gia) kalau liburan patah hati ini buat gue. Gue ga mau cerita tapi Gia cerita serasa sama temen lama.

“So, lo patah hati abis putus, apa gimana?”

“Mau ditinggal kawin,” saut Gia.

“Serius?”

“Gi, please bisa gak jangan diceritin sedetail ituuuuu…” Mungkin kalau Gia duduk di samping gue, gue udah cubit dia.

“Yailah. Belum tentu ketemu lagi di Jakarta ga sih?”

“Mungkin. Tapi kalau mau ketemu lagi, boleh?” Pertanyaan ini ditujukan ke gue, karena dia nanya sambil natap gue. Dia senyum, terus masang muka puppy sambil nunggu jawab gue.

“Eh? Hmm.. yaa boleh aja sih.” Jawab gue yang semakin canggung itu, terus dia senyum lagi.

Dari senyumnya, Leo nunjukin kalau dia juga punya lesung pipi kaya mas Edith, cuma punya mas Edith lebih dalam.

Gak lama dia kasih handphonenya ke gue, terus gue cuma ngangkat dua alis gue karena gue bingung.

“Katanya boleh ketemu lagi. Gue minta nomer kalian. Biar bisa janjian.”

Waktu gue ngelirik ke Gia, Gia cuma ngangguk-ngangguk kenceng terus gue nurut buat pencet nomer gue di handphonenya.

“Simpen ya, Leo.” Katanya setelah berhasil missed call gue. Setelah itu gantian dia minta nomere Irene sama Gia.


Obrolan kita di taksi gak jauh-jauh dari gimana kerennya Leo waktu nyamperin kita, dan berakhir bayar bill makanan kita. Dan kita janji buat gantian bayarin bill makan Leo di Jakarta.

“Sumpah yakin banget dia naksir sama lo,”

“Gila kali Gi. Mana ada naksir baru ketemu gitu.”

“Ya emang gila. Lo contohnya. Baru ketemu sekali langsung jatuh cinta sama si mas Edith,”

Diingetin lagi. Mas Edith lagi.

Gue cuma ketawa miris. Bener sih, gue udah tergila-gila sama mas Edith dipertemuan pertama kita. Tapi, siapa coba yang ga tergila-gila sama dia.